Sunday, April 13, 2008

Tahun Baru 1428, Melongok ke Dalam

Apa artinya tahun baru 1428 H bagi umat Islam?

Seperti biasa, tidak terlalu banyak yang peduli dengan tahun baru hijriyah. Tidak ada film dibuat, tidak ada terompet diproduksi, tidak ada jubelan masyarakat di tempat-tempat umum untuk menunggu dan merayakan detik pergantian tahun, tidak ada blow up media besar-besaran. Apakah masih ada yang menjadikan pergantian tahun baru Islam ini sebagai titik perenungan untuk perbaikan?

Entahlah. Paling-paling yang diselenggarakan adalah perayaan seremonial formalitas yang mengusung spanduk SELAMAT TAHUN BARU 1428 H, pidato pejabat dan ceramah secukupnya. Tahun baru Islam seringkali gagal menjadi tonggak perubahan.

Bukankah perubahan mendasar, radikal, reformatif –atau apapun namanya—itu yang sangat didambakan bangsa Indonesia? Perubahan yang gegap gempita diteriakkan di jalan-jalan pada 1998. Yel-yel yang sempat membangkitkan optimisme dan harapan besar bangsa Indonesia untuk kembali bangkit di atas basis yang lebih sehat. Lebih sewindu roda perubahan itu menggelinding terseok-seok dan kini terancam macet atau boleh jadi mundur.

Kalau umat Islam saja dari 200 juta lebih penduduk Indonesia berubah, pasti wajah ibu pertiwi kembali cerah. Tetapi menilik wajah umat Islam Indonesia atau dunia Islam secara umum setahun kemarin menjadikan kita harus menahan nafas optimisme itu. Bagi saya, gambar dunia Islam masih mendung cenderung bergerak ke gelap.

Dari mana kita mesti merunut? Tadinya, terus terang, saya bangga dengan Hizbullah, namun kebanggaan itu segera saja menguap. Kalau saja Hizbullah tetap di posisi menjadi benteng dunia arab atau Lebanon secara khusus dari serangan Israel, seperti yang ditunjukkan pada pertarungan heroik dalam perang 34 hari itu, niscaya simpati bangsa Arab akan tetap dalam genggamannya. Namun sayang, Hizbullah kini bermain day today politic di arena dalam negeri Lebanon dengan mengerahkan massa dan menggunakan simbol-simbol agama. Bulan-bulan belakangan adalah hari-hari pertarungan politik kekuasaan yang mecemaskan dalam konstelasi politik dalam negeri Lebanon.

Bergeser ke Palestina membuat kita bakal menemukan pemandangan yang lebih memilukan. Dalam situasi pendudukan dan terus menjadi target tank-tank dan pesawat tempur Israel, faksi Hamas dan Fatah mulai bertarung terbuka, bahkan dengan kontak senjata. Darah anak bangsa Palestina, mengapa mesti tumpah oleh bedil saudaranya sendiri? Politik kekuasaan memang seringkali membutakan mata hati dan akal sehat.

Iraq adalah cerita tragedi peradaban manusia abad ke-21. Kemarin Amien Rais, mantan Ketua MPR RI itu, menulis (di Kompas) tragedi ini dengan lugas dan menusuk. Setiap hari, nyawa orang-orang tak berdosa melayang disana. Bau mesiu bercampur darah dan kebiadaban menyengat sangat kuat. Bedil Amerika, milisi Jaisy al-Mahdi, kelompok ekstrim Sunni tak henti-henti menyalak mencari mangsa. Situasinya sangat komplikatif. Tidak jelas betul siapa makan siapa. Tahun-tahun ini, saya kira, Iraq masih akan terus terluka.

Kemana lagi kita mesti menoleh? Sudan masih tarik menarik dengan PBB yang hendak menurunkan tentara penjaga perdamaiannya di Darfur yang masih menderita kelaparan. Somalia masih mencekam setelah kekuatan Mahakim dipaksa meninggalkan kekuasaan oleh rezim lama yang kembali dengan bantuan kekuatan Etiopia dan Amerika. Dua negara muslim Afrika ini masih harus berhadapan dengan situasi yang labil.

Rezim yang labil dengan kondisi keamanan dan ekonomi yang carut marut atau rezim yang sangat kuat dengan kontrol yang tidak memungkinkan kekuatan tandingan menjadi dua ciri menonjol negara-negara muslim sampai dengan pergantian tahun ini. Raja Abdullah Saudi Arabia memang terlihat lebih progressif dalam pembangunan sosial ekonomi Arab Saudi. Proyek-proyek ekonomi berskala besar banyak diluncurkan, anggaran pendidikan dinaikkan, santunan sosial masyarakat miskin dinaikkan, bahkan anggaran pembelian alat-alat militer baru juga dicairkan. Ada penyegaran geliat ekonomi yang kentara di Arab Saudi beberapa tahun belakangan. Geliat serupa bisa kita lihat di Uni Emirat Arab, Bahrain, Qatar, Oman, Kuwait dan Maroko. Namun, semua itu sangat bergantung niat baik raja atau sekelompok penguasa. Ketika raja atau keluarga yang berkuasa berubah atau melampaui batas, siapa yang bisa mengontrol? Tidak ada!. Kalaupun ada, kontrol biasanya sangat lemah.

Tipe kedua ini berlaku juga untuk Mesir, Yordania, Suriah dan Iran dengan pembangunan ekonomi yang lebih lambat. Dua negara terakhir, Suriah dan Iran, menarik untuk diperhatikan karena sangat menentukan konstelasi ketegangan di kawan timur tengah dan sekitarnya. Suriah memang mulai keluar dari titik peran tradisionalnya. Iran lah yang memainkan peran sangat signifikan dalam perubahan konstlasi ini. Suriah yang tadinya termasuk jaringan Mesir, Arab Saudi yang kompromi dengan Amerika, kini lebih dekat ke Iran. Sepak terjang Iran Lebanon, Irak dan ketegangan yang diakibatkan proyek nuklirnya menjadi panorama kental dunia politik-militer-diplomasi di kawasan ini. Saya kira, Iran masih akan bermain waktu dengan retorika melawan melawan hegemoni Amerika tahun-tahun ke depan.

Lantas, apa artinya semua ini bagi umat Islam di tahun barunya?. Terlalu muluk untuk berharap umat Islam bersatu diikat oleh keislamannya untuk dibumikan di dunia realitas. Terlalu banyak palang rintang sejarah yang harus dilompatinya. Kalau memang harus berharap –karena tidak putus asa--, setidaknya tahun ini bisa menggungah bahwa Islam lah harta paling berharga yang kita miliki. Tidakkah kita mencoba untuk kembali mendalaminya buat mengarungi masa depan yang memang tidak mudah?