Sunday, April 13, 2008

Tahun Baru 1428, Melongok ke Dalam

Apa artinya tahun baru 1428 H bagi umat Islam?

Seperti biasa, tidak terlalu banyak yang peduli dengan tahun baru hijriyah. Tidak ada film dibuat, tidak ada terompet diproduksi, tidak ada jubelan masyarakat di tempat-tempat umum untuk menunggu dan merayakan detik pergantian tahun, tidak ada blow up media besar-besaran. Apakah masih ada yang menjadikan pergantian tahun baru Islam ini sebagai titik perenungan untuk perbaikan?

Entahlah. Paling-paling yang diselenggarakan adalah perayaan seremonial formalitas yang mengusung spanduk SELAMAT TAHUN BARU 1428 H, pidato pejabat dan ceramah secukupnya. Tahun baru Islam seringkali gagal menjadi tonggak perubahan.

Bukankah perubahan mendasar, radikal, reformatif –atau apapun namanya—itu yang sangat didambakan bangsa Indonesia? Perubahan yang gegap gempita diteriakkan di jalan-jalan pada 1998. Yel-yel yang sempat membangkitkan optimisme dan harapan besar bangsa Indonesia untuk kembali bangkit di atas basis yang lebih sehat. Lebih sewindu roda perubahan itu menggelinding terseok-seok dan kini terancam macet atau boleh jadi mundur.

Kalau umat Islam saja dari 200 juta lebih penduduk Indonesia berubah, pasti wajah ibu pertiwi kembali cerah. Tetapi menilik wajah umat Islam Indonesia atau dunia Islam secara umum setahun kemarin menjadikan kita harus menahan nafas optimisme itu. Bagi saya, gambar dunia Islam masih mendung cenderung bergerak ke gelap.

Dari mana kita mesti merunut? Tadinya, terus terang, saya bangga dengan Hizbullah, namun kebanggaan itu segera saja menguap. Kalau saja Hizbullah tetap di posisi menjadi benteng dunia arab atau Lebanon secara khusus dari serangan Israel, seperti yang ditunjukkan pada pertarungan heroik dalam perang 34 hari itu, niscaya simpati bangsa Arab akan tetap dalam genggamannya. Namun sayang, Hizbullah kini bermain day today politic di arena dalam negeri Lebanon dengan mengerahkan massa dan menggunakan simbol-simbol agama. Bulan-bulan belakangan adalah hari-hari pertarungan politik kekuasaan yang mecemaskan dalam konstelasi politik dalam negeri Lebanon.

Bergeser ke Palestina membuat kita bakal menemukan pemandangan yang lebih memilukan. Dalam situasi pendudukan dan terus menjadi target tank-tank dan pesawat tempur Israel, faksi Hamas dan Fatah mulai bertarung terbuka, bahkan dengan kontak senjata. Darah anak bangsa Palestina, mengapa mesti tumpah oleh bedil saudaranya sendiri? Politik kekuasaan memang seringkali membutakan mata hati dan akal sehat.

Iraq adalah cerita tragedi peradaban manusia abad ke-21. Kemarin Amien Rais, mantan Ketua MPR RI itu, menulis (di Kompas) tragedi ini dengan lugas dan menusuk. Setiap hari, nyawa orang-orang tak berdosa melayang disana. Bau mesiu bercampur darah dan kebiadaban menyengat sangat kuat. Bedil Amerika, milisi Jaisy al-Mahdi, kelompok ekstrim Sunni tak henti-henti menyalak mencari mangsa. Situasinya sangat komplikatif. Tidak jelas betul siapa makan siapa. Tahun-tahun ini, saya kira, Iraq masih akan terus terluka.

Kemana lagi kita mesti menoleh? Sudan masih tarik menarik dengan PBB yang hendak menurunkan tentara penjaga perdamaiannya di Darfur yang masih menderita kelaparan. Somalia masih mencekam setelah kekuatan Mahakim dipaksa meninggalkan kekuasaan oleh rezim lama yang kembali dengan bantuan kekuatan Etiopia dan Amerika. Dua negara muslim Afrika ini masih harus berhadapan dengan situasi yang labil.

Rezim yang labil dengan kondisi keamanan dan ekonomi yang carut marut atau rezim yang sangat kuat dengan kontrol yang tidak memungkinkan kekuatan tandingan menjadi dua ciri menonjol negara-negara muslim sampai dengan pergantian tahun ini. Raja Abdullah Saudi Arabia memang terlihat lebih progressif dalam pembangunan sosial ekonomi Arab Saudi. Proyek-proyek ekonomi berskala besar banyak diluncurkan, anggaran pendidikan dinaikkan, santunan sosial masyarakat miskin dinaikkan, bahkan anggaran pembelian alat-alat militer baru juga dicairkan. Ada penyegaran geliat ekonomi yang kentara di Arab Saudi beberapa tahun belakangan. Geliat serupa bisa kita lihat di Uni Emirat Arab, Bahrain, Qatar, Oman, Kuwait dan Maroko. Namun, semua itu sangat bergantung niat baik raja atau sekelompok penguasa. Ketika raja atau keluarga yang berkuasa berubah atau melampaui batas, siapa yang bisa mengontrol? Tidak ada!. Kalaupun ada, kontrol biasanya sangat lemah.

Tipe kedua ini berlaku juga untuk Mesir, Yordania, Suriah dan Iran dengan pembangunan ekonomi yang lebih lambat. Dua negara terakhir, Suriah dan Iran, menarik untuk diperhatikan karena sangat menentukan konstelasi ketegangan di kawan timur tengah dan sekitarnya. Suriah memang mulai keluar dari titik peran tradisionalnya. Iran lah yang memainkan peran sangat signifikan dalam perubahan konstlasi ini. Suriah yang tadinya termasuk jaringan Mesir, Arab Saudi yang kompromi dengan Amerika, kini lebih dekat ke Iran. Sepak terjang Iran Lebanon, Irak dan ketegangan yang diakibatkan proyek nuklirnya menjadi panorama kental dunia politik-militer-diplomasi di kawasan ini. Saya kira, Iran masih akan bermain waktu dengan retorika melawan melawan hegemoni Amerika tahun-tahun ke depan.

Lantas, apa artinya semua ini bagi umat Islam di tahun barunya?. Terlalu muluk untuk berharap umat Islam bersatu diikat oleh keislamannya untuk dibumikan di dunia realitas. Terlalu banyak palang rintang sejarah yang harus dilompatinya. Kalau memang harus berharap –karena tidak putus asa--, setidaknya tahun ini bisa menggungah bahwa Islam lah harta paling berharga yang kita miliki. Tidakkah kita mencoba untuk kembali mendalaminya buat mengarungi masa depan yang memang tidak mudah?

Belajar dari Hizbullah

Sayyid Hasan Nasrullah. Nama ini menjadi buah bibir bangsa Arab-Islam akhir-akhir ini. Ia bukan lagi sekedar tokoh Syiah tetapi telah melompat menjadi simbol perlawanan bangsa Arab terhadap pendudukan Israel dan hegemoni Amerika.

Perang 33 hari itu telah menunjukkan banyak hal. Pertama, citra militer Israel sebagai kekuatan paling besar dan tak terkalahkan di kawasan Timur Tengah dan sekitarnya runtuh oleh perlawanan heroik milisi Hizbullah. Kedua,proyek "Timur Tengah Raya" Amerika di kawasan ini semakin sulit menyentuh bumi kalau tidak bisa dibilang gagal. Ketiga, terjadi pergeseran aliansi politik dengan setidaknya dua kekuatan besar: Hizbullah-Hamas-Suriah dan Iran di satu pihak dan Yordania-Saudi Arabia dan Mesir di pihak lain. Singkatnya, yang pertama kontra Amerika dan yang kedua pro Amerika.

Hizbullah membuktikan diri bisa melawan Israel (dan Amerika di belakangnya) di semua level: operasi militer, kecanggihan intelijen, payung politik, perang media, kekuatan uang, dukungan opini publik dan --sebagai basis dari semuanya-- kekuatan ideologi.

Awalnya, Hizbullah menawarkan solusi politik untuk pembebasan dua tentara Israel yang ditawannya. Tetapi Israel melihatnya sebagai peluang untuk menghancurkan Hizbullah. Kekuatan militer pun digelar. Targetnya: membebaskan dua tawanan dan menghancurkan infrastruktur militer Hizbullah. Hasilnya: gagal total. Dua sandera tidak berhasil dibebaskan. Kekuatan militer Hizbullah pun masih menjadi ancaman besar buat Israel.

Adu canggih intelijen juga berlaku dalam perang ini. Sebuah laporan menyebutkan bahwa Hizbullah berhasil menanam perangkat intelijennya yang bekerja dengan sangat rahasia di dalam Israel. Maka seluruh keputusan pergerakan militer : kapan harus melepas rudal, kapan menyergap, kapan mundur, mana saja target sasaran dan seterusnya, dibuat berdasarkan informasi intelijen yang akurat. Sementara itu, beberapa kali, tentara Israel menyerang rumah sakit, pemukiman rakyat dan fasilitas umum yang disangka salah sebagai tempat penyembunyian senjata Hizbullah atau salah menangkap orang hanya karena bernama Hasan Nasrullah. Bukti-bukti gagal-sukses adu kecanggihan perangkat intelijen ini banyak beredar di televisi atau media-media online berbahasa Arab.

Pada tingkat kekuatan politik, Hizbullah juga pandai berhitung. Dua hari setelah Israel menyerang Lebanon, Saudi Arabia justru menyalahkan Hizbullah. Belakangan, Raja Abdullah, Yordania dan Husni Mubarak, Presiden Mesir, menyampaikan suara senada. Hizbullah dianggap nekat dan tanpa perhitungan menawan tentara Israel yang menyebabkan Israel ngamuk dan menyerang Lebanon. Namun ternyata, poros politik ini segera saja mendapat kontra wacananya ketika Suriah dan --terutama-- Iran mendukung Hizbullah. Di tingkat tekanan massa, politik jalanan di Mesir dan Amman mendesakkan suara yang berseberangan dari suara resmi pemerintahnya. Artinya, Hizbullah berhitung juga soal kekuatan politik di tingkat kawasan dan global dalam setiap pergerakannya. Kini, apapun perubahan politik yang hendak dilakukan di kawasan ini, Hizbullah harus diletakkan sebagai salah satu faktor pertimbangan.

Perang urat syaraf dan perebutan opini publik pun berlangsung tidak kalah sengit dalam perang 33 hari ini. Hasan Nasrullah sebagai ikon utama tampil elegan, gagah, cerdas, fasih dan menggugah menyapa publik dan milisi-nya di medan laga secara teratur di layar kaca. Tujuannya: menguatkan mental kawan dan menghancurkan mental lawan. Untuk itu,Televisi Al-Manar, corong resmi Hizbullah, tampil efektif membela kepentingan Hizbullah. Lebih dari itu, televisi Al-Jazeera di Doha dan Al-Alam di Teheran secara kasat mata 'berpihak' kepada Hizbullah dalam perang ini. Dari sisi media, Hizbullah menang besar dalam perang kali ini.

Sebagai efek berantai, masyarakat Arab semakin yakin bahwa muqawamah (gerakan perlawanan terhadap okupasi Israel-Amerika) adalah satu-satunya pilihan yang tersisa dalam konflik panjang Arab-Israel. Label yang diusung oleh Hizbullah dan Hamas dalam pergumulannya dengan Israel. Sebab segala bentuk kesepakatan politik yang ditandatangani dengan Israel, sejauh ini tidak berhasil menghentikan tindakan brutal tentara Israel yang menghancurkan rumah, menangkapi tokoh-tokoh resistensi di Palestina dan tidak ragu menjadikan rakyat sipil tak berdosa sebagai korban meninggal atau luka-luka.

Bagaimana dengan kekuatan uang?. Sejak awal politik Israel-Amerika adalah bagaimana menjauhkan rakyat Lebanon dari Hizbullah. Bahkan, bagaimana membalik opini massa dari mendukung menjadi menolak Hizbullah. Itulah salah satu sebab tentara Israel membombardir rumah-rumah, jembatan, rumah sakit, bandara yang tidak ada sangkut-pautnya dengan gudang senjata Hizbullah. Targetnya, agar massa menyalahkan Hizbullah karena menjadi penyebab semua kehancuran itu. "Kalau saja Hizbullah tidak memancing amuk Israel, niscaya kehancuran ini tidak terjadi", itulah kira-kira yang diharapkan oleh Israel-Amerika muncul di benak rakyat Lebanon.

Maka ketika gencatan sejata dicapai, Amerika mendapat peluang untuk mengambil hati rakyat Lebanon dengan isu rekonstruksi. Namun apa yang terjadi?. Segera setelah gencatan senjata, Hassan Nasrullah tampil di layar kaca dan mengumumkan bahwa : pertama, seluruh keluarga yang mengalami kerugian oleh sebab perang (diperkirakan antara 15-25 ribu keluarga) akan mendapat dana 12.000 Dolar Amerika per keluarga untuk bisa sewa rumah selama setahun. Kedua, Hizbullah akan membangun kembali rumah-rumah yang hancur sesegera mungkin yang diperkirakan berjumlah 15.000 rumah dengan perkiraan anggaran 30.000 Dolar Amerika per rumah. Bisa dibayangkan betapa besar kekuatan dana Hizbullah. Memang muncul banyak spekulasi soal dari mana sumber dana Hizbullah ini. Banyak yang menyebut bahwa sumbernya adalah kombinasi antara sumbangan para dermawan kaya simpatisan Hizbullah di seluruh dunia dan dukungan dana Iran. Tampak di layar kaca, bagaimana para relawan Hizbullah membagi-bagikan uang dalam dolar kepada para keluarga korban untuk biaya hidup setahun.

Kembali kecerdasan politik, kecepatan bertindak dan kekuatan yang memadai bekerja untuk menutup segala peluang yang bisa dipakai oleh kekuatan Israel-Amerika dan para pendukungnya untuk memenangkan pertarungan. Ala kulli hal, Hizbullah yang resminya berdiri tahun 1982, berhasil menjadi kekuatan yang memiliki perangkat militer, politik, intelijen, keuangan, media, hubungan luar dan ideologi yang memadai untuk bermain di level kawasan, membela tanah Lebanon dari segala bentuk agresi dan serobotan Israel.

Apa pelajaran yang tersisa?. Ya, selain sisi militer dan ideologi, organisasi-organasi keagamaan-kemasyarakatan atau bahkan organisasi politik sekalipun, layak berlajar dari Hizbullah. Bagaimana misalnya menjadikan organisasi keagamaan dan kemasyarakatan di Indonesia bisa kuat dan mandiri secara prinsip keorganisasian, pendanaan dan media, sehingga peran-peran yang diambil bisa lebih signifikan, baik pada level dalam negeri, kawasan maupun internasional. Tampaknya para aktifis organisasi di dalam negeri perlu bekerja lebih keras untuk membangun kemandiriannya pada seluruh level, tentu dengan tetap berada dalam kerangka aturan main yang disepakati bersama. Kalau musuh kasat mata berupa agresor dan penjajah bersenjata sudah menghilang, bukankah musuh berupa kemiskinan, kebodohan, ketidakadilan global dan keberingasan imperium oligarki kapitalisme internasional lebih jahat dan berbahaya?.

ICIS II: Merubah Elit sebelum Merubah Massa

APAKAH artinya pertemuan para intelektual muslim di tengah dunia Islam yang sedang bergolak di hadapan kita?.

Irak masih diduduki Amerika dan sekutunya. Faksi Hamas dan Fatah bertikai di Palestina. Somalia masih jadi arena perang saudara. Ketegangan Siria dan Lebanon pasca kematian Rafiq al-Hariri belum juga reda. Uni Emirat Arab dan Iran masih berebut daerah sengketa. Maroko dan Aljazair masih berebut pengaruh di Sahara. Afganistan masih jadi ladang pertempuran pasukan Taliban dan tentara Amerika.

Mauritania jatuh bangun dengan kudeta. Saudi Arabia, Jordania dan Maroko masih di bawah kekuasaan para raja. Mesir masih memberlakukan hukum gawat darurat di bawah kekuasaan Presiden Husni Mubarak yang perkasa. Sudan belum lagi sembuh dari luka perang saudara. Qatar well come saja jadi pangkalan Amerika di perang teluk ketiga yang merontokkan rezim Saddam Hussein yang kini masih dipenjara.

Memang Abu Mus’ab az-Zarqawi sudah tiada. “Patah satu tumbuh seribu”, kata pribahasa. Selama ketidakadilan masih ada, mereka akan terus bekerja dengan ideologi yang kuat bagai baja. Jangan heran jika besok lusa, berita kematin dan kehancuran yang mengerikan masih mengoyak rasa kemanusiaan kita. Osama Benladen dan Aiman az-Zawahiri boleh timbul tenggelam di layar kaca, namun anak-anak muda yang terkena racun ideologinya siap jadi martir hidup kapan saja dan di mana saja, ---sebagaimana yang sudah pernah ada-- dari Inggris hingga Amerika, dari Jakarta hingga Casablanca.

Laporan UNDP tahun 2002, rata-rata pertumbahan perkapita di negeri-negeri Arab hanya 1 % per tahun sepanjang 20 tahun sebelumnya. Dua dari lima orang Arab, hidup per hari hanya dengan kurang dari 2 dolar Amerika. 15 % kekuatan kerja di negeri-negeri Arab tidak bekerja dan pada tahun 2010 diperkirakan berlipat dua. Hanya ada 1 % penduduk yang memiliki komputer pribadi dan hanya setengah persen yang tersambung di jagat maya. Separuh dari perempuan Arab tidak bisa membaca.

Kalau ke Sudan kita mengarahkan mata, ada Darfur yang menjadi arena tragedi kemanusiaan yang luar biasa. Konflik, kelaparan dan orang-orang yang tinggal di pengungsian menjadi pemandangan sehari-hari di sana. Laporan PBB menyebutkan, dalam rentang 1994-2003, ada 13 juta orang mati karena konflik, 12 juta-nya ada di kawasan Asia Barat, Asia Selatan dan Sub Sahara Afrika. ¾ dari 37 juta pengungsi juga berada di kawasan ini, berkelindan dengan angka kelaparan yang naik tangga.

Bagaimana dengan negeri kita?. Kabar baik berhembus bersama reformasi, Mei 1998, yang didesakkan massa dan mahasiswa. Momentum ini membawa perubahan mendasar berupa: demokrasi dengan pemilihan langsung, amandemen UUD 1945 dan desentralisasi kekuasaan ke pemerintah daerah tingkat I dan tingkat II. Namun, 26 Desember 2004, tsunami menghantam Aceh dan Nias, meminta korban hampir 200 ribu jiwa dan kerja rekonstruksi yang luar biasa. Luka masih menganga ditinggalkan oleh Jogja yang dihantam gempa.

Atas alasan inilah, katanya, pemerintah berhutang lagi untuk kesekian kalinya. Hutang yang menambah beban yang harus dibayar oleh anak cucu bangsa. Sementara pengangguran sudah mencapai angka 40 juta jiwa. Flu burung masih juga mengancam jiwa dan sedang diusahakan solusi tuntasnya. Anak-anak kurang gizi masih ada dan pernah ramai jadi berita. Pemaksaan kehendak dengan kekerasan oleh kelompok-kelompok tertentu mengancam integrasi bangsa.

DALAM kondisi dunia Islam macam inilah, para intelektual dari 57 negara berbasis muslim berkumpul di Jakarta. Banyak yang diharapkan dari mereka. Setidaknya, kalau elit berubah, massa pasti mengikutinya. Revolusi di tingkat elit, akan sangat menentukan revolusi di tingkat massa.

Tetapi bagaimana itu bisa?. Bagaimana ilustrasinya?. Mohamed Arkoun, Profesor di Universitas Sorbon Perancis, menuntut intlektual Islam untuk membuka diri dan menguasai produk terbaru di dunia ilmu-ilmu humaniora. Hanya dengan begitu, peradaban Islam akan kembali ke peran kesejarahannya. Arkoun mengambil inspirasi dari para intelektual abad ke-4 H semisal Abu Hayyan at-Tauhidi dan Ibnu Maskawaih yang lengkap, terbuka, menyerap segala produk peradaban di zamannya dan memberi kontribusi dunia Islam bagi kemajuan dunia manusia. Arkoun meminta intelektual Islam mengadopsi peran Maskawaih di zamannya dalam konteks zaman kita. Dalam hal ini, Arkoun mencoba mengambil peran pelopor dengan karya-karyanya yang dalam, multi perangkat metodologis dan menggebrak imaginasi kolektif umat yang menurutnya sudah kadung ideologis, berwatak keras dan tidak terbuka.

Dalam semangat mencari jawaban Islam terhadap kebuntuan zaman kita, Dr. Abu Ya’rab al-Marzuqi, intelektual Tunisia, menemukannya pada Ibnu Taymiyah dan Ibnu Khaldun setelah menemukan titik terang pada al-Gazali, tokoh intelektual Islam abad V. Al-Marzuqi menemukan persamaan “Ihya’ Ulumuddin”-nya al-Gazali sama dengan “Ihya al-Hadlarah al-Islamiyah” karena pada masa itu, filsafat sejarah Plato dan filsafat ilmu alam Aristoteles telah menyebabkan kematian ilmu agama yang berarti kematian manusia. Karena manusia –versi Plato dan Aristoteles—digerakkan oleh sejarah dan hukum alam (hukum kausalitas), bukan sebaliknya.

Ibnu Taymiyah dan Ibnu Khaldun, menurut Abu Ya’rab al-Marzuqi, membalik kesimpulan Plato dan Aristoteles (yang diafirmasi oleh intelektual Islam semacam: Al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Arabi, As-Suhrawardi dan Ibnu Rusyd) untuk mengembalikan posisi manusia sebagai penggerak (fa’il) sejarah yang merdeka, bukan obyek (maf’ul) sejarah. Menggerakkan reformasi di dunia Islam saat ini, menurut al-Marzuqi, harus dilandaskan pada dua poros pemikiran ini: 1. terbebas dari metafisika jabariyah yang memandang manusia sebagai entitas yang digerakkan oleh kekuatan luar yang tak tertolak; 2. terbebas dari sikap tidak bertanggung jawab yang diakibatkan oleh pandangan bahwa nilai-nilai bukan ditimbulkan oleh kerja manusia yang muncul dari pergulatan kekuatan di masyarakat tetapi dari Tuhan yang segalanya serba jadi tanpa keterlibatan perjuangan dan kreasi manusia. Poros pertama memerdekakan manusia secara teologis, menjadikannya sebagai entitas yang berkehendak dan bertanggung jawab ; dan yang kedua memerdekakan manusia secara sosial-politis dari otoritarianisme masyarakat dan negara.

Dr. Thaha Abdurrahman, pemikir Maroko, melangkah lebih jauh. Dalam buku terbarunya, “Ruh al-Hadatsah; al-Madkhal ila Ta’sis al-Hadatsah al-Islmiyah” (2006), ia mengajukan konsep yang disebutnya dengan modernitas Islam. Konsep ini dialamatkannya kepada dua kelompok sekaligus; 1. para intelektual yang hanya mencukupkan diri dengan tradisi (turastiyyun) untuk mengajukan kepada mereka cakrawala baru, dan, 2. para intelektual modernis (hadatsiyyun) yang hanya menjadi pengikut setia modernitas barat untuk memberi mereka alternatif dari kenyataan modernitas barat yang penuh kritik.

Dr. Thaha membedakan antara “ruh modernitas” dan “kenyataan (penerapan) modernitas”. Menurutnya, modernitas barat saat ini adalah salah satu bentuk penerapan ruh modernitas yang dimungkinkan. Artinya, sangat mungkin menerapkan ruh modernitas ini di dunia Islam dalam perangkat dan bentuk yang lebih mencerminkan ruh tersebut. Tiga prinsip modernitas: prinsip kritik (mabda’ an-naqd), prinsip kearifan (mabda’ ar-rusyd) dan prinsip totalitas (mabda’ as-syumul) yang merupakan ruh modernitas dibebernya dalam bahasa dan konsep-konsep yang sepenuhnya diturunkannya dari sumber dan warisan pemikiran Islam. Pertaruhannya kemudian adalah bagaimana memperjuangkan kondisi dunia Islam yang diisi oleh perpaduan kebangkrutan intern dan luberan eksternal (modernitas barat) beranjak menuju aplikasi konsep yang dikreasinya. Setidaknya, Dr. Thaha sudah memberikan track konsepnya.

Dalam konteks perjuangan menghadapi kondisi dunia Islam yang amat berat inilah, Mohamed Abed al-Jabiri menganjurkan jalan keluar yang disebutnya “kaukus sejarah” (at-takattul at-tarikhi) dunia Arab-Islam. Kaukus ini meniscayakan umat Islam berada di satu barisan dengan garis kebijakan sosial-politik-peradaban yang dirumuskan bersama. Al-Jabiri melihat bahwa tantangan dunia Islam jauh lebih besar dari sekedar dihadapi dengan solusi-solusi sektoral. Inilah saatnya umat Islam bersatu dalam satu lingkaran untuk bergerak bangkit bersama. Solusi ini, menurut al-Jabiri, bisa mengembalikan umat Islam kembali menjadi pemain sejarah, tidak seperti kini, ketika dunia Islam menjadi obyek pertarungan (dalam apa yang disebutnya sebagai tata ulang peta dunia oleh Amerika), bukan pihak yang aktif bermain dalam pertarungan tersebut.

APAKAH peran kesejarahan ini hendak dimulai dari Jakarta melalui forum ICIS?. Melihat tren demokrasi yang mulai bersemi, kebebasan bertanggung jawab yang mulai nyata dan semangat menjadikan Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta, ICIS ----dengan PBNU sebagai markasnya-- bisa menjadi tonggak sejarah untuk memulai perubahan serius (kalau bukan revolusi) di dunia Islam. Asal semangatnya besar dan tujuannya jelas, ICIS bisa melakukannya. Perjuangan memang tidak pernah mengenal kata henti, bahkan mungkin baru bermula!.

NU, Pesantren dan Kebangkitan Indonesia

“Standing Ovation” panjang bergemuruh menyertai pengumuman Jonathan Pradana Mailoa sebagai ‘absolutely winner’ pada IPhO (International Physics Olymphiad) ke 37 tahun 2006 di Singapura. Air mata kebanggaan, haru dan bahagia tak kuasa ditahan seluruh masyarakat Indonesia yang menyaksikan peristiwa bersejarah itu. Ternyata kita masih memiliki kebanggaan sebagai bangsa. Optimisme masih menemukan tempat di tengah derita bergantian yang menghantam bangsa kita.

Dr. Yohanes Surya, pencetus dan pembimbing Tim Olimpiade Fisika Indonesia, merekam rasa itu di email yang ditulisnya pada 17 Juli 2006 dan beredar di beberapa milis. Rasa kaget dan kagum silih berganti di sampaikan duta-duta besar negara peserta. Dr. Surya menulis, “Selesai upacara, semua orang menyalami. Orang Kazakhtan memeluk erat-erat sambil berkata ”wonderful job...” Orang Malaysia menyalami berkata “You did a great job...” Orang Taiwan bilang :”Now is your turn...” Orang filipina: amazing...” Orang Israel “excellent work...” Orang Portugal:” portugal is great in soccer but has to learn physics from Indonesia”, Orang Nigeria : could you come to Nigeria to train our students too?” Orang Australia: great....” Orang belanda: “you did it!!!” Orang Rusia mengacungkan kedua jempolnya.. Orang Iran memeluk sambil berkata “great wonderful...”. 86 negara mengucapkan selamat”.

Bahkan gaung kemenangan ini bergema sampai ke Eropa. Prof. Marc Deschamps dari Belgia, demikian Dr. Surya, mengirim SMS: “Echo of Indonesian Victory has reached Europe! Congratulations to the champions and their coach for these amazing successes! The future looks bright”. Efek kejut untuk bangkit inilah yang membersitkan fajar kebangkitan Indonesia.

Seperti kata pepatah Cina, “langkah seribu dimulai dari ayunan pertama”. Kita sedang mengayunkan langkah untuk capaian besar. Itulah sebabnya, Dr. Surya memiliki target meraih nobel 2020 dari kerja prestisius ini. Kerja besar dan gila, pada awalnya memang mengundang tawa sinis, namun bersama putaran waktu, sinisme itu terpaksa berubah menjadi decak kagum. Dengan modal potensi besar dan kerja keras, Dr. Surya membuktikan bahwa obsesi-nya itu bukan mimpi.

Yang menarik dicermati adalah efek berantai optimisme ini. Menurut Dr. Surya, prestasi demi prestasi gemilang di pentas kompetisi sains internasional ini telah mendongkrak rasa percaya diri bangsa Indonesia. Bahwa kalau dirawat dengan benar, tunas-tunas bangsa yang berotak cemerlang dapat berperan besar di pentas internasional. Bersamaan dengan itu, gerakan yang dimulai sejak 1993 ini, mulai menemukan bangunan sistemik-nya. Melahirkan fisikawan besar dan basis teori sains bagi kebangkitan Indonesia hanyalah persoalan waktu.

Saat ini, sudah puluhan orang mantan anak didik Dr. Surya sedang menimba ilmu di universitas-universitas ternama Internasional. Di dalam negeri, guru-guru mulai bersemangat meng-up grade diri untuk memperbaiki kapasitas ajarnya dalam sains, terutama fisika. Murid-murid sekolah menengah pun mulai mengapresiasi fisika sebagai pelajaran yang menyenangkan. Intinya, antusiasme, kerja keras dan visi yang jelas adalah kunci meraih sesuatu yang besar.


Expat: jalan pintas ke pentas dunia

Belum lama, suguhan piala dunia sepak bola Jerman 2006 menjadi pusat perhatian dunia. Satu hal menarik yang mesti dicatat, banyak negara-negara kecil di Afrika seperi Pantai Gading, Ghana, Togo, Tunisia bisa tampil dengan kesebelasannya di pentas bergengsi tersebut. Ternyata, sumber daya pesepak bolanya banyak yang bermain di liga-liga Eropa. Sebagai contoh, Didier Drogba (Chelsea) di pantai gading, Essien (Chelsea) di Ghana, Adebayor (Arsenal) di Togo adalah bintang di liga-liga Eropa.

Mengekspor kader-kader potensial ke kandang-kandang penggemblengan paling bermutu di dunia adalah jalan pintas menembus persaingan di dunia global yang semakin datar ini. Mereka akan kembali ke negerinya dengan ilmu, pengalaman, keahlian dan visi ke depan yang cukup untuk membangkitan dan mendayagunakan segala sumber daya di negerinya untuk bangkit mengejar kesetaraan dengan negeri-negeri mentor.

China dan India adalah dua contoh bagus dalam hal ini. Dari pengalaman anak-anak asuh Dr. Surya, terbukti yang selalu menjadi saingan mereka di Universitas-universitas besar di Amerika adalah anak-anak Cina. Mereka inilah yang kemudian menjadi mesin SDM Cina memutar mesin besar kebangkitan ekonomi-nya. Kemajuan industri IT (Information Technology) India juga berangkat dari kisah yang sama. Anak-anak India yang handal di bidang IT dari hasil gemblengan di universitas-universitas besar di barat, kembali ke India untuk memutar mesin kebangkitan bangsanya.

Inilah pula yang kita harapkan dari Indonesia. Harus ada strategi nasional untuk mengikuti alur para expat ini; mulai dari sokongan sejak pembibitan, pengawasan selama pendidikan dan latihan kerja, sampai dengan penyediaan peran-peran signifikan yang bisa mereka ambil dalam kerangka Indonesia bangkit. Inilah jalan pintas memutus lingkaran setan yang menghambat kemajuan Indonesia.

Tentu saja, ini berlaku bukan hanya untuk bidang sains. Tetapi bidang-bidang lain di luar itu; seni, filsafat, sastra, kebudayaan, humaniora, sosial, politik dan seterusnya bisa diletakkan pada alur yang sama. Betapapun kontroversialnya Pramoedya Ananta Toer, karya-karyanya yang diterjemahkan ke berbagai bahasa dunia adalah kebanggaan Indonesia. Syamsi Ali yang belum lama dinobatkan sebagai tokoh muslim paling berpengaruh di New York City adalah juga contoh bagus. Intinya, standar karya anak bangsa harus dinaikkan sampai level internasional.


Peran NU dan Pesantren

Tetap menjadi kebanggan menyebut ulama-ulama besar dengan karya monumental di level internasional (dunia Islam) seperti Syekh Nawawi Banten, Syekh Mahfudz Termas, Syekh Yasin Padang, Syekh Arsyad Banjar dan seterusnya. Tapi itu dulu. Ketika jaringan ulama masih memusat di Hijaz dan antusiasme pelajar nusantara belajar ilmu agama masih tinggi.

Ketika pusat itu bergeser ke Mesir, ulama-ulama besar sekaliber mereka, belum muncul lagi sampai hari ini. Kita bisa menyebut Gus Dur atau Gus Mus sebagai generasi mahasiswa Universitas al-Azhar Mesir tahun 60-an, tetapi dengan karya keilmuan yang masih miskin untuk ukuran ulama berkaliber internasional. Begitu juga dengan Quraish Shihab. Meski banyak karya tafsir yang lahir dari tangan beliau, tetap saja belum menembus level dunia untuk bersanding misalnya dengan karya Thahir Bin Asyur atau (sekarang ini) Sayyid Thantawi Grand Syekh Azhar, Syekh Ali Jum’ah, Mufti Mesir atau Syekh Yusuf al-Qardlawi.

Kini kita harap-harap cemas menantikan terobosan dari lumbungnya para kiai: NU dan Pesantren. Sejak generasi Kiai-kiai besar yang wafat pada tahun 90-an awal semisal KH. Ali Maksum, KH. Asad, KH. Ahmad Siddiq, Kiai Adlan Ali, belum muncul secara sistemik dan massif kiai-kiai baru yang komprehensif, kharismatik, mumpuni secara keilmuan dan meninggalkan pengaruh besar.

Kalau boleh mengambil inspirasi dari apa yang dilakukan Dr. Surya : ambillah bibit unggul dari belasan ribu pesantren se Indonesia, seleksi mereka seketat mungkin, ambil yang paling potensial, godok siang malam, terapkan standar mujtahid (hafal qur’an, matan hadits, ilmu ushul, ilmu alat dan penguasaan terhadap realitas; ditambah (versi Prof. Arkoun) dengan pengetahuan terhadap produk terbaru di dunia ilmu humaniora), wajibkan berbahasa Arab, Inggris (kalau bisa, ditambah Perancis). Ketika dasarnya cukup, kirim mereka ke universitas agama paling berkualitas dan sambungkan mereka dengan syekh yang paling berkualitas juga untuk berlajar dari mereka sampai tuntas. Untuk ini, ambil dana umat karena mereka, selepas dididik, akan bekerja untuk umat.

Dengan antusiasme dan kerja keras segalanya bisa direngkuh. Alangkah membanggakan kalau tidak lama kemudian, secara sistemik, mujtahid-mujtahid muashir muncul dari dunia pesantren dan NU. Ayo NU, ayo Pesantren mulailah lebih serius mempersiapkan mujtahid-mujtahid itu!. Agar suatu saat nanti, Indonesia berhak berada di pusat peradaban manusia. Bukankah langkah seribu dimulai dari langkah pertama?.

Mencari Pijakan Indonesia Bangkit

APA sih yang kurang dari Indonesia?. Alamnya, kaya dan indah. Penduduknya, banyak dan tahan menderita. Orang cerdik cendikia-nya cukup bisa diandalkan. Kebudayaannya, plural dan nyeni. Masa lalunya adalah sejarah kejayaan Sriwijaya dan Majapahit. Agama-agamanya, galibya, hidup berdampingan secara damai. Apa yang kurang?.

Kalau dikatakan; sejarah Indonesia merdeka masih terlalu pendek karena baru berusia 61 tahun, bukankah pada tahun 1945 Jepang luluh lantak?. Bukankah pada masa perang dunia kedua itu, Jerman kalah dan terbelah?. Bukankah Korea Selatan masih belum muncul ke permukaan?. Bukankah Malaysia masih belum ‘apa-apa’?. Bukankah ketika itu, Indonesia tidak jauh beda dengan China dan India?.

Tetapi kenapa kini Jerman menjadi petinggi ekonomi di Eropa?. Kenapa kini Jepang masuk jajaran negara dengan per kapita tertinggi di dunia?. Kenapa Korea Selatan sudah berada di urutan terkemuka produsen teknologi dunia?. Kenapa Malaysia merasa sah mengklaim diri sebagai ‘Truly Asia’?. Kenapa India menjadi negara besar dengan sumber daya manusia, nuklir dan ekonomi yang siap berkompetisi di dunia?. Kenapa China menjadi negara dengan pertumbuhan tertinggi di dunia dan diramalkan bakal menyalip Amerika pada 2030 nanti?. Kenapa mereka lari tunggang-langgang mengejar kemajuan dan kita masih jalan di tempat?. Ada apa dengan kita?.

BUKANKAH pada tahun 1945 itu, ketika para founding father memproklamirkan kemerdekaan, cita-cita sudah dibentang; pintu gerbang sudah dibuka dan jembatan emas ke masa depan sudah dibangun?. Bukankah cita-cita itu begitu indah, bahkan buat sekedar dibayangkan sekalipun: "melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial...".

Dimana sekarang perlindungan negara terhadap rakyat Indonesia, ketika tenaga kerja Indonesia di luar negeri banyak yang terancam tindak kekerasan tanpa perlindungan hukum?. Dimana sekarang pemenuhan kesejahteraan umum, ketika kemiskinan dan pengangguran masih menjadi dua ancaman terbesar kelangsungan hidup puluhan juta rakyat Indonesia?. Dimana sekarang pencerdasan kehidupan bangsa, ketika pendidikan masih mahal dan kenyataan anggaran pendidikan yang inkonstitusional?. Dimana sekarang posisi tawar Indonesia di dunia internasional ketika hutang sudah lebih dari seribu trilyun rupiah dan banyak kekayaan alam dalam negeri yang ‘dijual’ ke pihak asing?. Kemana mimpi-mimpi indah itu menguap?.

Ternyata, mimpi adalah satu hal dan kenyataan adalah hal lain. Hegel memang pernah mengatakan kalau ide bisa merubah sejarah. Sejarah, menurutnya, digerakkan oleh akal universal; akal mutlak yang lahir sebagai ujung sintesa dari dialektika panjang yang melahirkan perubahan-perubahan sejarah yang bergerak menuju kesempurnaannya. Dialektika Hegel ujung-ujungnya melahirkan bangsa Jerman sebagai puncak sejarah. Bangsa Jerman mendapatkan bahan bakar yang tak habis-habisnya untuk bergerak meraih kebesarannya dari filsafat Hegel.

Tafsir sejarah Hegel ternyata kemudian dipatahkan oleh Karl Marx. Sejarah, menurutnya, tidak digerakkan oleh dunia ide, tetapi oleh materi. Ketika Hegel melihat bahwa dunia materi adalah bayang-bayang apa yang sesungguhnya bergerak di dunia ide, Marx melihat bahwa dunia ide -dengan segala apa yang disebutnya supra struktur-adalah refleksi semata dari dunia materi. Yang menggerakkan sejarah adalah materi, alat produksi dan pertarungan kelas. Marx yang melihat Hegel berdiri dengan kepala di bawah telah menjadikannya berdiri di atas kedua kakinya. Dua pertiga wajah dunia pernah diwarnai tafsir sejarah Marx, sampai glassnot dan prestroika-nya Gorbachev menandai akhir kejayaan Uni Soviet sebagai negara ‘mbah’-nya marxisme.

Sementara itu, Arnold Toynbee melihat sejarah sebagai satuan peradaban yang mengalami fase lahir, berkembang dan kemudian mati. Peradaban, menurutnya, lahir dari proses mengatasi tantangan (at-tahaddi wa al-istijabah). Banyak peradaban yang layu sebelum berkembang karena tidak mampu mengatasi tantangan-tantangan. Kemajuan peradaban ditentukan oleh seberapa banyak tantangan yang berhasil di taklukkan, baik itu tantangan alam (cuaca, bencana dst) maupun tantangan manusia (perang dst). Segala kemajuan di dunia pengetahuan dan teknik adalah wujud nyata dari kemampuan mengatasi tantangan-tantangan tersebut. Begitu sebuah komunitas berhenti berjuang mengatasi tantangan, artinya ia sedang bersiap-siap menggali liang kuburannya sendiri.

Dalam proses tumbuh dan berkembangnya sebuah peradaban, empat titik penting yang diperhatikan Toynbee adalah : 1. Aktualisasi diri. Bahwa langkah demi langkah yang diayukan untuk kemajuan peradaban adalah bentuk aktualisasi diri individu-individu merdeka pembentuk komunitas dimana peradaban itu tumbuh dan berkembang. 2. Interaksi individu dan masyarakat. Bahwa masyarakat adalah kerangka bagi hubungan interdependensi individu-individu untuk berkarya bersama. Dalam hal ini, tidak ada dualisme bahwa yang secara hakiki ada hanyalah individu saja (individualisme) atau masyarakat saja (sosialisme). 3. Berhenti dan kembali bergerak. Gerak maju peradaban bukanlah gerak acak yang tidak beraturan. Ia terdiri dari sebentuk serial diam dan bergerak: diam untuk merenung, mencari inspirasi, memeriksa keberhasilan-kegagalan; bergerak untuk kembali bekerja, mencipta dan berjuang mengatasi tantangan dengan darah dan semangat baru. 4. Keragaman dalam kesatuan. Peradaban yang bergerak maju terdiri dari satuan yang menaungi keragaman. Seperti benih yang ditanam petani. Ia ditanam di satu ladang, dari satu jenis, oleh petani yang sama, namun setiap benih memiliki eksistensi, keunikan dan bentuk yang berbeda ketika dipanen.

Kalau tafsir Hegel dipatahkan Marx dan tafsir marxisme-sosialisme ternyata terbantahkan oleh keruntuhannya berbarengan dengan berakhirnya perang dingin, tafsir peradaban-nya Toynbee setidaknya menghadapi dua kritik mendasar: 1. pengamatan lebih rinci terhadap kehidupan sebuah peradaban membuktikan bahwa ia bukanlah satuan bulat yang saling mempengaruhi satu dengan lainnya. Boleh jadi, dalam satu bagian sebuah komunitas mengalami kemunduran namun pada bagian yang lain ia mencatat kemajuan. 2. Toynbee tidak setia dengan metodologi induktif yang ditetapkannya sendiri. Ia hanya mengambil fakta-fakta yang mendukung asumsinya; sesuatu yang menjadikan teorinya mengidap cacat metodologis.

DALAM bukunya : Tafsir Islam terhadap Sejarah (at-Tafsir al-Islami li at-Tarikh), Dr. Imaduddin Khalil, intelektual Irak, mencoba menampilkan pandangan al-Qur’an terhadap sejarah manusia: kelahirannya, tabiatnya, faktor maju-mundurnya dan rotasinya di lintasan kehidupan manusia.

Dua kaki peradaban versi al-Qur’an adalah reformasi (ishlah) dan memerangi kerusakan (mujabahat al-fasad) dalam seluruh level dan penampakannya. Dua pilar ini bergerak dalam relasi seimbang dan harmonis antara segi tiga : Tuhan, manusia dan alam semesta. Relasi manusia dengan Tuhan diwakili kata kunci penugasan, keimanan, penghambaan, kemerdekaan diri dan tanggung jawab (istikhlaf, iman, ibadah, huriyah, mas’uliyah); bahwa manusia diturunkan ke muka bumi ini untuk memakmurkan dan membangun peradaban dengan kemerdekaan diri yang disertai tanggung jawab dalam hubungan keimanan dan penghambaan yang tiada putus-putusnya dengan Tuhan. Relasi manusia dengan alam dimanifestasikan oleh kata-kata kunci pendayagunaan akal dan keseimbangan (i’mal al’aql, at-tawazun); bahwa oleh karena manusia diberikan akal, ia wajib mendayagunakannya untuk menemukan rumus-rumus alam semesta dari materi yang paling kecil (mikrokosmos) sampai yang paling besar (makrokosmos) dengan tetap menjaga keseimbangan alam. Relasi Tuhan dengan alam terwakili oleh kata kunci penundukan (taskhir); bahwa alam semesta diciptakan oleh Tuhan untuk kepentingan manusia.

Ketika sebuah komunitas memiliki keinginan kuat dan kerja keras untuk menerapkan konsep ini, maka ia akan meraih kemajuan demi kemajuan. Sebab lingkup kemerdekaan dan tanggung jawab yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia tetap berada dalam jangkuan kemampuan manusia, asal ia serius bekerja keras dengan tidak mengenal kata menyerah. Kemajuan yang dicapai lantas bukanlah kemajuan yang terbatas -sebatas kemajuan material misalnya, seperti kemajuan dunia barat saat ini-- tetapi kemajuan yang utuh, material dan nilai sekaligus.

MENJADI terjawab kemudian, apa yang kurang dari bangsa kita. Reformasi yang digulirkan sejak 1998, kurang total dan belum habis-habisan. Kerusakan dan perusakan kerap dibiarkan. Keimanan dan penghambaan kepada Tuhan tidak dihayati dan diamalkan dalam kehidupan. Etos kerja masih kedodoran. Alam tidak dirawat dalam keseimbangan. Ilmu pengetahuan dan teknologi belum kuat ditanamkan. Alih-alih merasa krisis, kaum elit yang mestinya memimpin perubahan ke arah perbaikan, malah hidup dalam gelimang kemewahan dengan gaji besar yang menginjak rasa keadilan. Apakah kita hendak menjadi bangsa yang layu sebelum berkembang?.

Soal Penerapan Syariat Islam di Indonesia

Mei 1998 adalah titik penting dalam sejarah bangsa Indonesia. Dari titik ini, perubahan bermula. Rezim Orde Baru (OB) yang berkuasa selama 32 tahun tumbang oleh gerakan massa. Mereka disatukan oleh sebuah tuntutan: REFORMASI.

Reformasi kemudian adalah kata kunci pada perubahan di pentas publik Indonesia. Apa yang sebelumnya tidak boleh dijamah berubah menjadi wilayah yang boleh diobrolkan secara terbuka. Wacana penerapan Syariat Islam (SI) yang di-‘tiarap’-kan pada masa OB kembali muncul ke permukaan.

Seolah memutar ulang fragmen sejarah, perdebatan tentang Piagam Jakarta kembali mengemuka di sidang umum MPR. Aceh yang menjadikan penerapan SI sebagai kartu tawar menawar politik dengan Jakarta (Pemerintah Pusat), mendapatkan kado istimewa dengan terbitnya UU Nomor 44/1999 tentang keistimewaan Aceh; sebuah undang-undang yang menandai mulainya pemberlakuan SI di Aceh. Melalui pintu otonomi daerah, banyak daerah lain yang kemudian menerbitkan peraturan-peraturan daerah (perda) yang mengadopsi SI. Belakangan, rancangan undang-undang anti pornografi dan porno aksi (RUU APP) ditengarai sebagai perwujudan SI.

Pertanyaan yang segera mengemuka adalah : ada apa dengan gairah besar dari sebagian komponen bangsa untuk menerapkan SI di Indonesia?. Apakah SI memang jalan keluar bagi bangsa Indonesia yang didera seribu satu masalah itu? Apa problem-problem krusial bagi penerapan SI di Indonesia?. Adakah jalan keluar yang rasional dan realistis bagi kontroversi penerapan SI di Indonesia?. Pertanyan-pertanyaan yang hendak dibahas dalam tulisan ini.


Problem-problem Penerapan SI di Indonesia

Kata kontroversi adalah kata yang pas untuk mewakili wacana ini. Karena memang kontroversi penerapan SI di Indonesia terjadi di semua level. Tidak ada satu kata dalam hal ini.Setidaknya ada dua level yang paling kentara: internal dan eksternal.

Pada level internal, menyangkut isi tubuh syariat itu sendiri, pertanyaan-pertanyaan elementer-nya adalah: apa yang dimaksud syariat dalam hal ini (ontologis)? Bagaimana merumuskan syariat yang hendak diundangkan itu (epistemologis)? Bagaimana syariat mesti diterapkan dalam konteks lokal dengan karakter yang berbeda-beda di Indonesia (aksiologis)?

Pada level ontologis, perdebatan tentang Syariat Islam sebenarnya bukan khas Indonesia. Pemikiran Arab kontemporer banyak berbicara tentang masalah ini. Persoalan poros-nya adalah: bagaimana memandang kaitan antara teks (suci: al-Qur’an, hadits dengan segala derivasi-nya) dengan realitas. Setidaknya ada tiga aliran dalam hal ini: skriptural, moderat dan liberal. Kaum skripturalis memandang bahwa realitas mesti tunduk kepada teks. Aliran moderat melihat bahwa teks dan realitas mesti berdialog untuk menghasilkan aturan yang disepakati. Sedangkan kelompok liberal melihat bahwa oleh karena teks diturunkan demi kepentingan realitas, maka ia harus menyesuaikan diri dengan realitas.

Untuk menurunkannya dalam konteks Indonesia misalnya, kita bisa mengambil beberapa contoh. 1. Kontroversi pajak sebagai zakat yang dipicu oleh buku “Agama Keadilan” yang ditulis Masdar Farid Mas’udi, sekarang salah seorang Ketua PBNU. 2. Kontroversi Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang digagas oleh Musdah Mulia dkk yang berimplikasi serius pada beberapa hukum keluarga semisal poligami, kawin beda agama dan nikah mut’ah. 3. Kontroversi perda pelacuran di Kabupaten Tanggerang dan yang masih hangat di wacana publik: kontroversi seputar RUU APP. Pertanyaannya adalah: manakah yang syariat dari pendapat yang berseberangan itu?.

Problem ontologis ini berkaitan erat dengan perangkat metodologis-epistemologis. Persoalan krusial disini adalah menyangkut legalitas perangkat penggalian hukum yang belakangan coba ditawarkan untuk mengakurkan teks dan realitas, semisal: perangkat takwil sebagaimana ditawarkan Nasr Hamid Abu Zayd, pendekatan Kritik Nalar yang diusulkan Mohammed Abed al-Jabiri, pembongkaran nasikh-mansukh yang dilakukan Abdullah Ahmed an-Naem, penggunaan hermeneutika-semiotika yang ditawarkan Arkoun dan seterusnya.

Tawaran-tawaran ini berangkat dari keyakinan bahwa Ushul Fiqh tidak lagi memadai untuk mengawal laju perubahan di tingkat realitas. Mengapa? Karena Ushul Fiqh ujung-ujungnya ‘betekuk lutut’ di hadapan superioritas teks. Padahal teks tidak lahir dari ruang hampa. Ia mesti berinteraksi dengan dunia manusia dengan segala pernik-perniknya. Kalau Ushul Fiqh sebagai perangkat masih tetap dianggap mumpuni oleh aliran moderat saja, mulai diragukan kapasitasnya dalam mengawal perubahan dengan produk-produk hukum yang aplikabel, bagaimana dengan mekanisme tertutup (dari teks ke teks) yang diyakini oleh kelompok skripturalis?. Fakta sosiologis menunjukkan bahwa ketiga kelompok ini –dengan perangkatnya masing-masing—masih sedang bergulat dalam wacana Indonesia kontemporer. Tidakkah ini problematis?.

Lantas pada level aksiologis, syariat Islam berhadapan dengan persoalan yang tidak sederhana. Ini mengatarkan kita untuk berpindah pada sisi eksternal dari problem penerapan SI di Indonesia. Untuk mengambil beberapa sampel, kita bisa menyebut –dalam konteks ini-- : problem pluralitas-kebhinekaan Indonesia, transformasi sosial dan interaksi-belajar dengan dan dari dunia luar (negara-negara muslim dan negara-negara barat).

Pada soal pluralitas-kebhinekaan Indonesia, penerapan SI di Indonesia menghadapi tantangan serius. Masalahnya, Indonesia ditakdirkan lahir sebagai bangsa yang heterogen (warna-warni) bukan homogen (satu warna) dan itu direpresentasi oleh Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar negara dan konstitusi. Akibatnya, seluruh warga negara Indonesia berkedudukan dan berhak mendapat perlindungan dan perlakuan yang sama dari negara tanpa memandang latar belakang agama, suku dan warna kulit. Persoalan paling serius disini adalah: bagaimana penerapan syariat tidak melibas-menafikan keserbanekaan tersebut.

Kondisi inilah yang menjelaskan mengapa pendekatan politik-legal penerapan SI selalu mendapat tentangan, bukan hanya dari kalangan non muslim, bahkan dari kalangan tokoh-tokoh Islam sendiri. Taruhannya sangat serius yaitu eksisnya Indonesia sebagai bangsa yang kokoh bersatu. Maka, banyak tokoh atau organisasi Islam yang mengambil jalan panjang dengan transformasi sosial. Artinya, masyarakat –lewat lemba-lembaga dan nilai-nilai sosial—terus dikondisikan untuk semakin Islami. Idealismenya, tanpa pendekatan politik-kenegaraan pun kelak, rakyat Indonesia akan menjalankan syariat Islam dengan sendirinya.

Disamping itu, perlu ada dukungan internasional bagi penerapan SI di negara tertentu. Sebagaimana kita tahu, sekarang ini, Islam tengah menjadi pusat perhatian dunia. Sejak persitiwa 9/11, dunia Islam dihadapkan pada dua tantangan sekaligus: konsolidasi internal –di seluruh levelnya—dan penghadapan eksternal terutama dengan negara-negara barat (Amerika-Eropa). Di tengah tumpang tindih tata dunia yang diwarnai logika kekuatan-kekuasaan ini, penerapan syariat menjadi isu sensitif internasional. Bisakah Indonesia yang dikenal sebagai negara muslim moderat, tetap bisa menjaga kredibilitasnya dalam pergaulan internasional ketika penerapan SI semakin gencar di lakukan di daerah-daerah?.


Mencari Solusi: Mencoba Lebih Maju dari Sekedar Kontroversi

Kita mulai dari satu titik berangkat (starting point) bahwa Indonesia dengan Pancasila dan UUD 1945-nya adalah pilihan final. Jika tidak, kita tidak akan memiliki kerangka sosial-historis untuk berbicara penerapan SI di Indonesia. Penerapan SI di Indonesia tidak mungkin dimulai dari titik nol seolah-olah negara yang bernama Indonesia itu baru dimulai.

Jika titik ini disepakati, barulah kita bisa berikhtiar kreatif untuk mencari solusi bagi penerapan SI di Indonesia yang problematis itu.

Pandangan ini meniscayakan kesediaan untuk berbagi dan berkompetisi dalam berbuat kebaikan. Bahwa dalam wadah negara Indonesia, Islam hanyalah salah satu unsur pembentuk nilai-nilai, pandangan dunia dan pewarna lembaga-lembaganya. Pandangan ini pada saat yang sama tidak memberikan jawaban serba jadi bagi soal penerapan SI di Indonesia. Artinya, pendekatannya mesti induktif. Berangkat dari pemahaman yang tuntas-mendalam terhadap realitas, baru kemudian dicarikan jawaban yang match dalam khazanah syariat Islam yang kaya itu.

Kongkritnya begini: sebagai sebuah langkah gradual, tahapan teknis yang harus dilalui adalah: 1. Memahami realitas apa adanya. 2. Mencari dan mengusahakan jawaban yang sesuai dari syariat Islam. Kedua pekerjaan ini tidak mengharuskan keterlibatan negara, melaikan usaha gigih dari orang per orang dan organisasi sosial-keagamaan. Kalau boleh beranalogi dengan kasus Amerika, apa yang dilakukan oleh lembaga agama yang ujung-ujungnya melahirkan apa yang disebut barisan kanan di gedung putih, adalah contoh bagaimana lembaga agama bergerak gigih di tingkat massa untuk kemudian sampai ke ranah negara tanpa perlu pendekatan formalistik.

Dalam konteks Indonesia, tantangan terbesarnya adalah bagaimana menjadikan tokoh dan organisasi sosial-keagamaan bisa berdialog sehat untuk secara cool ber-ijtihad menghasilkan hukum-hukum syariat (fiqh) yang match dengan kenyataan sosial lokal di Indonesia. Usaha ini akan menuntaskan persoalan ontologis dan epistemologis yang diintrodusir di atas. Ketimbang bertarung terbuka di media yang kental dengan nuansa ideologis-politis, mengapa mereka tidak duduk bersama di ruang ber-AC untuk membicarakan hukum-hukum SI yang klop dengan kondisi dimana ia mesti diterapkan dan dengan cara bagaiamana ia mesti diperjuangkan?.

Sementara itu, pada level eksternal, tranformasi sosial yang sudah dilakukan, misalnya oleh NU sejak 1984, perlu terus dilakukan dengan kualitas yang terus ditingkatkan. Langkah ini selanjutnya dikemas dengan wacana yang santun, anti kekerasan, dialogis dan mengedepankan rahmat. Ketika terbukti di bumi realitas bahwa Islam betul-betul menjadi rahmat bagi semua, tanpa diformalkan sekalipun, Islam akan menjadi nilai obyektif di tengah masyarakat. Dalam khazanah klasik, pandangan seperti ini, misalnya kita temukan pada visi politik Imam Malik yang belakangan mazhab fiqh-nya lebih memungkinkan akrab dengan tradisi lokal dengan konsep mashlahah mursalah dan maqashid syariah-nya.

Selanjutnya kesediaan untuk tunduk pada aturan main bersama (rule of the game) pada saat kekuatan umat Islam telah menjelma menjadi entitas politik berupa partai-partai harus terus dipupuk dalam semangat menyemaikan demokrasi. Sebab terbukti bahwa demokrasi sebagai perangkat bernegara tidak kontradiktif dengan Islam. Dan akhirnya, tetap perlu digalang konsolidasi global antar negara dan komunitas muslim untuk mewujudkan tata dunia yang lebih adil dan damai.

Semua tawaran aksi ini, sama sekali bukan jawaban jadi. Kerja keras dalam mewujudkannya akan menentukan masa depan Indonesia. Satu hal yang penting kita tegaskan: ketimbang energi bangsa kita habis untuk ‘bertengkar’ dalam soal-soal yang tidak perlu, mengapa kita tidak membicarakan sesuatu yang dalam jangka panjang lebih menjamin kohesi kebangsaan, kebanggaan menjadi sebuah bangsa dan capaian-capaian riil pada pembangunan benda maupun manusianya. Bukankah seluruh elemen bangsa dengan segala pelangi ideologi dan jalan hidupnya berujung pada muara menjadikan Indonesia sebagai negara yang aman, damai, adil dan sejahtera?.

Tinggal kita mesti bertanya kepada diri kita masing-masing: apakah yang bisa kita sumbangkan dalam kerja besar ini?. Kita sendirilah yang bisa menjawabnya dengan kerja nyata.

Dialektika Islam dan Budaya Lokal

Kontroversi Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (selanjutnya disebut RUU APP) di jagat publik Indonesia membuka kembali ruang diskusi lebih serius soal kaitan antara Islam dan budaya lokal. RUU APP disinyalir sebagian kalangan sebagai kendaraan Islam untuk memberangus budaya lokal. Makna tersirat yang segera mengemuka dari kontroversi ini adalah: dialektika Islam dan budaya lokal ternyata belum selesai.

Berbeda dengan penyebaran Islam di semenanjung Arab yang revolusioner, dakwah Islam di Nusantara berlangsung dalam proses damai yang evolusioner. Penduduk Nusantara yang sudah eksis dengan agama Budha-Hindu-nya sebelum Islam datang, tidak melihat Islam sebagai ancaman bagi laku tradisi mereka. Islam tidak menyulap mereka untuk berubah 180 derajat dari apa yang mereka praktikan dalam kehidupan sehari-hari. Para penyebar Islam membiarkan prilaku dan institusi budaya yang sudah hidup dan stabil itu tetap berlangsung dengan mencoba mentransformasi ruh, kepercayaan dan keyakinan-keyakinan yang melandasinya.

Bahkan ketika para raja tertarik dengan penampilan elegan para penyebar Islam, mereka menerima agama baru ini. Gelombang Islamisasi Nusantara pun semakin massif dan intensif. Bersamaan dengan melemahnya tiang-tiang kekuasaan kerajaan Majapahit, kerajaan-kerajaan Islam pun bermunculan di hampir seluruh pelosok Nusantara. Dari kesultanan Aceh di barat sampai Tidore-Ternate di timur, kerajaan-kerajaan Islam membentang sepanjang Nusantara.

Panorama perkawinan Islam dengan budaya lokal ini adalah fenomena tak terbantahkan dari riwayat sejarah Islam di Nusantara. Wali Songo yang dikenal sebagai pendakwah Islam yang berhasil di Pulau Jawa memilih strategi transformasi nilai ini dengan improvisasinya masing-masing. Hasilnya, Islam mampu bertahan lama di Nusantara dalam harmoni dengan budaya lokal. Pertanyaan yang sekarang kembali mengusik: apakah strategi dan hasil yang dicapai oleh penyebar Islam awal di Nusantara adalah target sementara atau tujuan final?. Lebih menginti: apakah merubah budaya lokal pada aras nilai dan etika hanyalah sasaran antara untuk ujung-ujungnya merubahnya menjadi Islami secara isi dan kulit sekaligus?.

*

Pertanyaan ini belakangan semakin kontekstual di hadapan beberapa fenomena semisal : 1. Maraknya peraturan-peraturan daerah (PERDA) bahkan Undang-undang yang mengadopsi hukum fiqh (syariat) secara harfiah. 2. Semakin derasnya gempuran nilai dan produk budaya barat dengan latar filosofis yang berseberangan dengan nilai warisan di Nusantara. 3. Semakin kuatnya arus gerakan-gerakan Islam (harakah Islamiyah) yang semakin keras menyuarakan kewajiban Indonesia menjadi negara syariat.

Ada satu poros yang harus dibongkar terlebih dahulu untuk menjawab pertanyaan ini, yaitu: SEKULARISASI. Membongkar sekularisasi di Indonesia menjadi harus untuk mengurai kesan salah bahwa seolah-olah yang berhadapan adalah Islam dengan agama atau budaya lain. Padahal senyatanya, perbenturan tersebut bisa diwakili oleh tema: perbenturan tradisi (dengan segala agama dan budaya pembentuknya) vs sekularisasi.

Akhir Agustus 2005, dalam Seminar dan Lokakarya Internasional Badan Kerjasama Perhimpunan Pelajar Indonesia (BK-PPI) Se-Timur Tengah dan Sekitarnya bertema : Membangun Masyarakat Religius di Qom Iran, terungkap bahwa dalam rentang ratusan tahun kolonialisme dan puluhan tahun pasca kemerdekaan, Indonesia telah tersekularkan hampir di seluruh level hidupnya. Satu-satunya yang belum terjadi di Indonesia adalah apa yang disebut Dr. Yudi Latif, Wakil Rektor Universitas Paramadina ---dengan mengutip Donald E. Smith-- sebagai “Polity-Dominance Secularisation”, yaitu sekularisasi yang dipaksakan oleh negara untuk merubah keyakinan, praktik dan struktur keagamaan. Selebihnya, pada bidang hukum, pendidikan, struktur sosial, ekonomi, dan –pada kadar tertentu—basis legitimasi dan identitas kelompok, semuanya telah tersekularkan.

Nusantara yang digambarkan sebaga negeri “gemah ripah loh jinawi”; negeri yang subur, makmur dan sejahtera, terus-menerus dibangkrutkan selama berabad-abad sekularisasi oleh kaum penjajah. Secara ekonomi, selain kekayaan di Nusantara dikuras dan diangkut ke luar negeri, arus perdagangan yang semula bergerak dari negeri “bawah angin” (Nusantara) ke negeri “atas angin” (Champa, China, Eropa) berbalik untuk menyisakan nusatara (selanjutnya, Indonesia) hanya menjadi sekedar penampung arus barang dari utara. Secara pendidikan, sistem madrasah yang lebih menekankan pendidikan nilai, tergantikan oleh sistem sekolahan yang beraksentuasi pada materi. Pada struktur sosial, agama “turun derajat” menjadi sekedar salah satu bagian dari fragmentasi lembaga-lembaga sosial sebagaimana terepresentasi oleh semangat lahirnya Departemen Agama. Sementara itu, hukum yang berlaku adalah hukum Belanda yang tidak sepenuhnya merepresentasi tatanan yang telah hidup berabad-abad sebelumnya dengan agama sebagai unsur utamanya.

Inilah yang menjelaskan mengapa luka bangsa Indonesia, sampai lebih dari separuh abad merdeka masih juga menganga. Bahkan sampai saat ini, bangsa Indonesia masih menjadi kuli di negeri sendiri. Kekayaan dalam negeri diangkut habis-habisan ke luar negeri. Kasus UU Migas yang hanya memberi maksimal 25 % cadangan gas untuk keperluan dalam negeri, kasus kemenangan Exxon Mobil di blok Cepu dan penggalian habis-habisan kekayaan alam Papua oleh Freeport adalah beberapa contoh mutakhir betapa ekonomi kita belum beranjak dari kerangka zaman penjajahan. Ketidakmandirian di bidang ekonomi ini berkelindan dengan ketidakmandirian di bidang politik, budaya dan pendidikan.

Ketika kondisi bangsa tidak bertambah baik secara prinsipiil dalam segala lini kehidupannya, yang terjadi kemudian adalah arus balik. Rakyat kembali membuka ingatan sejarah untuk melihat bahwa bangsa ini sudah terlalu jauh menyimpang dari keharusan sejarahnya. Rupanya segala resep sekular yang kolonialis itu tidak mampu menaikkan derajat kehidupan bangsa kita. Bahkan kecenderungan belakangan, apapun bisa masuk ke tanah air tanpa keberdayaan lembaga-lembaga negara untuk menyaringnya. Contoh terbaru adalah penerbitan majalah Playboy yang tidak bisa dihentikan oleh aparat pemerintah meskipun jelas-jelas bakal merusak moral bangsa.

Arus balik ini sebenarnya tidak khas Indonesia. Untuk menarik benang merah di aras internasional, kita bisa menyebut kasus kemenangan Partai Keadilan di Turki, kemenangan Hamas di Palestina, raihan kursi yang cukup signifikan oleh Ikhwanul Muslimin di Mesir dan kekuatan menanjak Partai al-Adalah wa at-Tanmiyah di Maroko. Apalagi belakangan kita disuguhkan pemandangan menarik, bagaimana perlawanan simbolik Iran terhadap pusat-pusat kekuatan sekularisme. Intinya, sedang dan akan terus ada perlawanan terhadap pembangkrutan yang dilakukan oleh kekuatan kolonialis yang menjadikan sekularisasi sebagai salah satu alatnya.

*

Dalam buku-nya, Spirit Peradaban Islam (Ruh al-Hadlarah al-Islamiyah), Syekh Muhammad Fadil Bin Asyur, intelektual terkemuka Tunisia, mengingatkan satu jebakan yang sering tak terbaca dalam gerakan arus balik ini, yaitu : menangkap kulit dengan melupakan isi.

Misalnya, banyak orang kini ‘berteriak’ tentang solusi Khilafah Islamiyah atau penerapan Syariat Islam yang problematik itu. Padahal inti masalahnya bukan di situ. Penggerak utama peradaban Islam (sebagaimana dipraktikkan dengan sempurna pada abad pertama perluasan wilayah Islam) bukan pada bentuk khilafah, kerajaan atau keemiran, tetapi komitmen dan orientasi. Titik awal kemunduran peradaban Islam bukan terletak pada pergeseran bentuk khilafah ke bentuk kerajaan, tetapi pada perubahan dari komitmen moral-keimanan menjadi komitmen politik-kekuasaan.

Yang mesti dilakukan sekarang adalah mengembalikan komitmen pertama itu sebagai driving force gerak sejarah bangsa Indonesia kini dan ke depan. Fokus perhatian bukan terutama kepada bentuk luarnya tetapi pada substansi dan driving force-nya.

Dari perspektif ini, dialektika Islam dan budaya lokal di Indonesia akan terus berlangsung. Tidak ada yang perlu dirisaukan tentang hal itu. Biarkanlah dialektika itu menghasilkan sintesa-sintesa baru sesuai kebutuhan sejarah bangsa kita. Sekali lagi yang harus terus kita usahakan, bagaimana menjadikan rakyat dan penguasa negeri ini terus mentransformasi komitmennya dari interest keduniaan (ekonomi, politik, kekuasaan) menjadi interest keakhiratan (iman, moralitas, amal saleh, maslahah ‘ammah).

Soal bentuk, sebaiknya kita serahkan pada kecerdasan kreatifitas (ijtihad) kolektif bangsa Indonesia. Kelak, Indonesia akan maju dari usaha gigihnya sendiri. Semoga tidak terlalu lama lagi.

Saturday, April 5, 2008

Sekularisasi dan Puritanisasi

Prolog

Dalam tema besar yang ditawarkan panitia, tema tulisan ini merupakan derivasi dari tema: Masyarakat Religius dan Problem Konsepsi. Membangun masyarakat religius memang harus dimulai dari pilihan konsep yang tepat. Karena istilah masyarakat religius masih abstrak dan butuh konseptualisasi serius. Banyak masalah yang harus dibongkar, dirumuskan ulang dan dicarikan jawaban yang tepat menyangkut konsepsi masyarakat religius.

Oleh karena itu, dengan tema ini, penulis hendak menelusuri dua istilah kunci dalam membangun kosepsi masyarakat religius: sekularisme-sekularisasi dan puritanisme-puritanisasi. Untuk menjadikan tulisan ini runtut dan sistematis, penulis hendak memulai pembicaraan tentang makna-makna (sekularisme-sekularisasi dan puritanisme-puritanisasi), pergeseran-pergeserannya, implikasi-implikasi-nya, masa depannya dan upaya mencari model masyarakat religius yang tepat dalam konteks kekinian.


Makna Sekularisasi dan Puritanisasi

Telah menjadi kesepakatan bahwa sekularisme lahir, besar dan melembaga di masyarakat barat. Prosesnya bermula dari gerakan reformasi agama yang titik tolaknya berangkat berbarengan dengan kelahiran era modern di Eropa Barat pada sekitar abad ke-16. Gerakan ini hendak membongkar kerjasama manis antara gereja dan negara yang melahirkan struktur masyarakat yang tiranik dan menindas. Mereka hendak membersihkan negara dari hegemoni dan pengaruh tokoh-tokoh agama (Katolik).

Oleh karena itu, tiga level sekularisme yang mesti dipahami adalah bahwa pada level filosofis, sekularisme bermakna keyakinan bahwa hidup bisa diatur dengan proses penalaran tanpa mengambil rujukan dari Tuhan atau konsep-konsep supra natural; pada level sosial bermakna anggapan bahwa keyakinan keagamaan bukanlah nilai bersama masyarakat; sedangkan pada level negara atau pemerintahan bermakna kebijakan untuk mencegah pencampuradukan agama dan negara, penghentian diskriminasi antara agama dan penjaminan hak asasi manusia warga negara tanpa memandang agama dan keyakinannya.

Meskipun sekularisme lahir dan besar di Barat, proses penyebaran sekularisme (sekularisasi) belakangan telah menjadikan faham ini menyebar ke hampir seluruh belahan dunia, lebih-lebih setelah runtuhnya komunisme menyusul ambruknya Uni Soviet sebagai negara benteng komunisme. Saat ini, mayoritas negara-negara di dunia, telah menjadi sekular, setidaknya pada salah satu dari tiga level sekularisme tadi.

Sementara itu, puritanisme pada awalnya adalah gerakan ‘pemberontakan’ di lingkungan gereja Inggris pada akhir abad ke-16. Istilah ini, dalam sejarahnya, lebih menunjukkan sebuah gerakan ketimbang sekte dalam agama. Gerakan ini muncul karena, setidaknya, dua hal: pertama, fenomena gereja yang berada di bahwa kontrol kerajaan Inggris dan kedua, kenyataan bahwa gereja telah dikotori –versi kaum puritan-- dengan perilaku, hubungan dengan kaum pagan dan keharusan-keharusan yang dikeluarkan oleh raja dan para pastor. Hal-hal inilah yang menjadikan mereka terobsesi untuk memurnikan (purify) kembali institusi gereja. Dua tokoh yang menjadi rujukan kaum puritan adalah Jhon Calvin (Genewa) dan Martin Luther (Jerman). Keduanya adalah tokoh Kristen Protestan. Meskipun gerakan ini lahir di Inggris, namun ia berkembang di Amerika, di daerah New England oleh sebab nenek moyang gerakan ini yang menyeberang ke Amerika karena melarikan diri dari pimpinan gereja dan raja Inggris.

Ajaran-ajaran pokok puritanisme dapat diringkas sebagai berikut: 1. kekuasaan mutlak Tuhan terhadap segala urusan manusia. 2. setiap orang harus diperbaiki untuk berjuang melawan dosa dan melakukan perbuatan baik di hadapan Tuhan. 3. kekaguman terhadap tokoh-tokoh kristen awal. 4. peribadatan di gereja harus ditata ulang sesuai dengan apa yang diperintahkan di dalam bibel. 5. pemerintahan sekular bertanggung jawab kepada Tuhan untuk merawat dan menghargai kebaikan dan menghukum para pendosa. 6. tekanan untuk mempelajari bibel secara otodidak dan melakukan pendidikan dan pencerahan terhadap umat agar mereka dapat membaca bibel secara mandiri. 7. syarat penguasaan bahasa asli bibel (Yunani, Ibrani dan Aramaic) buat para pastor.

Dua catatan penting yang harus dicatat disini adalah, pertama, semangat kaum puritan untuk mengembalikan ajaran dan peribadatan kristen ke dan sebagaimana dipraktekkan oleh kaum kristen awal. Kedua, semangat dan kerja keras kaum puritan untuk mendidik dan mencerahkan anggota-nya agar berpengatahuan luas dan berkeahlian tinggi. Oleh karena itu, tidak heran jika dua hal yang berlawanan disematkan sebagai ciri kaum puritan Amerika. Pertama, mereka digambarkan sebagai tertutup dan fundamentalis. Tetapi, kedua, mereka digambarkan sebagai sosok yang bekerja keras, egaliter dan suka belajar. Mereka, oleh Alexis de Tocqueville disebut sebagai pendiri demokrasi Amerika.


Laicitè dan Puritan Islam

Laicitè adalah konsepsi yang semakna dengan sekularisme, tetapi aksentuasinya lebih pada sisi politik, yaitu pemisahan lembaga agama (gereja) dari negara dan absennya agama dari urusan-urusan pemerintahan. Konsep ini lahir dan besar di Perancis. Saat ini, konsep laicité telah diterima oleh mayoritas orang Perancis dan telah menjadi konsep inti dari konstitusi Perancis.

Konsep ini melarang agama mengintervensi negara. Agama tidak boleh memasukkan agendanya di ranah negara atau pemerintahan. Sebaliknya, negara dilarang mengadopsi atau berpihak kepada agama tertentu. Negara harus tetap netral terhadap semua agama dan –pada saat yang sama—bersih dari pengaruh agama. Namun demikian, konsep ini tidak mengandung permusuhan terhadap negara. Ia tetap memberikan kebebasan pemeluk agama untuk menganut dan mengamalkan agamanya. Yang hendak dijaga oleh konsep ini adalah agar agama tetap berada di ranah privat, tidak masuk dan berkuasa di ranah publik.

Laicité lahir dari konflik pahit yang terjadi berabad-abad antara masyarakat dan agama selama revolusi Perancis (mulai 1789). Revolusi yang hendak mengeluarkan agama dari menghegemoni ruang publik, meski telah dimulai sejak abad ke-18, baru berhasil pada 1905 dalam bentuk pemisahan total antara gereja dan negara. Dari latar belakang historis ini, banyak pemikir, melihat Laicité bersikap lebih keras terhadap agama ketimbang sekularisme (bandingkan dalam contoh kontemporer antara Perancis dan Inggris dalam kasus pelarangan jilbab) karena pendekatan dan aksentuasinya yang bersifat politik.

Sementara itu, meskipun jelas bahwa puritanisme adalah istilah yang lahir dalam konteks sejarah barat, khususnya Inggris dan menyangkut pengalaman agama Kristen, banyak orang mencoba mencari padanannya pada pengalaman agama dan dunia Islam. Identifikasinya dilakukan dengan mencari persamaan antara gerakan puritanisme pada konteks aslinya dengan gerakan yang memiliki semangat serupa di dunia Islam. Ditemukanlah kemudian gerakan Salafyyah, Wahabiyah dan gerakan-gerakan Islam politik di berbagai negara Arab dan Islam.

Gerakan Salafiyah hendak memurnikan ajaran islam dari apa yang mereka sebut bid’ah dan kembali kepada dua sumber utama Islam: al-Qur’an dan as-Sunnah. Rujukan sosiologisnya adalah apa yang hidup dan dianut pada masa Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Aspek inilah yang menjadikan gerakan ini disebut Puritan Islam. Sebagai sebuah mazhab pemikiran, gerakan ini bisa dirujuk kepada Ibnu Taymiyah. Namun sebagai sebuah gerakan sosial, politik dan intelektual sekaligus, gerakan ini bisa dirujuk pada akhir abad ke-19 kepada tokoh-tokoh semacam Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridla. Pada masanya, gerakan ini hendak membersihkan umat Islam dari karat peradaban dan membangunkannya untuk berjuang melawan penjajahan (dalam konteks Mesir, perlawanan terhadap Inggris).

Sementara itu, Wahabiyah dipelopori pada abad ke-18 oleh Muhammad ibn Abdul Wahab di semenanjung Arab. Gerakan ini meyakini keharusan untuk kembali secara harfiyah kepada Islam yang asli (versi mereka), Islam yang sederhana dengan ritual yang sederhana. Mereka menolak pemahaman Islam yang mengaitkannya dengan konteks sejarah dan rasionalitas. Islam menurut kelompok ini adalah apa yang tertulis di kitab suci dan di hadits Rasulullah, tanpa perlu ditafsir-tafsirkan lagi. Bersamaan dengan berdirinya rezim Abd al-Aziz ibn Saud di awal abad ke-20, wahabiyah menjelma menjadi ideologi dan pilihan cara beragama negara Saudi Arabia.


Pertarungan Barat vs Islam (Politik)

Jika boleh disederhanakan, dua entitas: sekularisme dan laicité di satu pihak; dan puritanisme dan Puritan Islam di pihak lain, memiliki ide, visi dan tujuan yang berlawanan arah. Sekularisme dan laicité hendak mengatur dunia ini dengan cara profan, mengurus negara dengan akal semata dan ujung-ujungnya memisahkan detil-detil kehidupan dari nilai-nilai sakral yang bersumber dari Tuhan. Sementara puritanisme dan Puritan Islam hendak merevitalisasi peran agama dalam kehidupan, menerapkan perintah-perintah agama baik dalam urusan privat maupun publik dan memperjuangkan tegaknya sebuah negara (dalam kasus Islam Politik: Khilafah) yang akan mengatur segala aspek kehidupan manusia berdasarkan hukum Tuhan.

Entitas pertama, sekularisme, diusung oleh Barat sebagai nation-state dan negara-negara bekas jajahan yang tersekularkan. Sedangkan entitas kedua diusung gerakan-gerakan Islam politik (al-Qaidah, Ikhwan al-Muslimin, Thaliban dll) yang belakangan, setidaknya sejak September 2001, menunjukkan tren menanjak dan kekuatan yang sangat dahsyat. Memang terasa tidak fair, untuk membatasi pembicaraan tentang puritanisme dan puritanisasi, dalam konteks ini, pada fenomena Islam politik. Namun untuk melihat konflik yang mewarnai dunia sekarang dan ke depan, penghadapan Barat dan Islam Politik menjadi valid.

Dua kelompok yang berhadapan frontal ini, sebagaimana kita amati setidaknya lima tahun belakangan, menunjukkan bahwa keduanya bersiap untuk mengarungi perang panjang. Barat yang dimotori Amerika dan Inggris menunjukkan sikap keras dan gigih untuk mempertahankan prinsip-prinsipnya. Setelah perang Afghanistan dan Iraq, Amerika bersiap untuk meluncurkan apa yang disebutnya sebagai proyek demokratisasi di Timur Tengah; sebuah proyek yang termasuk dalam kerangka menyusun peta baru Timur Tengah Raya (as-Syarq al-Awsath al-Kabir).

Sementara itu, kelompok Islam Politik, meskipun digempur dengan kekuatan militer di dua perang terakhir, Afghanistan dan Iraq, belum menunjukkan tanda-tanda kehabisan nafas. Bahkan, ancaman yang mereka lancarkan terhadap Amerika dan sekutunya, sebagaimana yang hampir setiap hari terjadi di Iraq dan pengeboman London yang terjadi belum lama, tetap menjadikan Barat sebagai target operasi nomor wahid. Dari persembunyiannya, secara bergantian, Osama bin Laden dan Ayman adz-Dzawahiri, pucuk pimpinan al-Qaidah, tampil di layar kaca menegaskan konsistensi mereka untuk perang panjang melawan Amerika dan para sekutunya.

Tak pelak, kisah dunia kita kini dan ke depan adalah kisah pertarungan kedua kekuatan ini. Keduanya, dengan caranya masing-masing, siap untuk mengarungi perang total. Dan yang pasti, nyawa rakyat sipil yang menjadi korban akan terus berjatuhan. Oleh karena itu, untuk membaca tata dunia dan memprediksi masa depan kita, kedua variabel mesti kita masukkan dalam perenungan. Yang terpenting sekarang ini adalah jawaban atas sebuah pertanyaan: Adakah jalan keluar dari jalan buntu dan lingkaran setan kekerasan ini?.


Islam Moderat, Model Alternatif

Jawaban yang paling mungkin dari pertanyaan terakhir ini adalah Islam Moderat: sebuah model pemahaman dan pengamalan Islam yang memungkinkan umat Islam melakukan dialog dengan hasil peradaban modern untuk mengambil yang baik dan membuang yang buruk. Proses mengambil dan membuang ini memungkinkan umat Islam untuk tidak menempuh jalan ‘ambil semua atau kehilangan semua’, tetapi menerima institusi dan pranata yang berkembang di masyarakat dan berupaya mentransformasikannya untuk terus menjadi semakin Islami.

Kita bisa mengambil tiga contoh untuk pilihan dan pedekatan ini. Pertama, contoh sukses Partai Pembangunan dan Keadilan Turki (Ak Party) pada Pemilu 2002 dan menguasai mayoritas kursi parlemen. Partai yang berlatar belakang Islam ini tanpa ragu mengayuh langkah Turki untuk bergabung dengan Uni Eropa. Prinsip yang dipegangnya adalah penyeimbangan nilai-nilai Islam dengan tuntutan sistem politik sekular dan demokratis. Kedua, contoh Malaysia. Saat ini Malaysia mengundang kekaguman banyak pihak karena dinilai berhasil mentransformasi diri menjadi negeri Islam yang modern. Mahathir Muhammad yang banyak berperan memajukan Malaysia memegang prinsip membasiskan aktifitas politik kepada al-Qur’an yang match dengan banyak capaian dari gerakan pencerahan di Barat.

Ketiga, tentu saja, contoh Indonesia. Betapapun Indonesia masih jauh dari ideal negara-bangsa yang dicita-citakan para founding fathers-nya, namun cara beragama mayoritas orang Indonesia bisa menjadi model alternatif. Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah sebagai dua organisasi Islam paling berpengaruh di Indonesia menjadi promotor gigih Islam Moderat yang bisa berdialog dengan barat dan memiliki akar yang kuat di grass root. Modal ini, bahkan menjadi modal diplomasi andalan Indonesia ke dunia Internasional belakangan ini.

Selebihnya, kita juga melihat fenomena semakin dewasanya partai-partai politik yang berlatar belakang Islam. Di banyak negara, partai-partai yang sejatinya masuk dalam kategori Islam Politik ini, mulai masuk ke ranah kekuasaan dan menerima aturan main yang dibuat bersama. Artinya, perjuangan menegakkan nilai-nilai Islam, kini mulai dipahami tidak hanya dengan memulai dari nol mendirikan negara baru yang bernama negara Islam atau khilafah, tetapi lebih halus dari itu, mengisi wadah yang sudah ada dengan nilai, keteladanan, perundang-undangan dan sistem yang semakin Islami.EpilogKembali ke tema: Sekularisasi dan Liberalisasi, bisa dibilang bahwa tugas sejarah kita adalah bagaimana mencari alternatif-alternatif dari dua arus ekstrem yang bertubrukan ini. Untuk itulah kita ber-seminar dan lokakarya kali ini. Semoga saja, kontribusi kita bisa didengar, dipahami dan dipakai sebagai bahan untuk membangun masyarakat religius yang kita inginkan.

-*-Makalah ini disampaikan pada Seminar dan Lokakarya "Membangun Masyarakat Religius", Badan Kerjasama Perhimpunan Pelajar Indonesia (BK-PPI) Se-Timur Tengah dan Sekitarnya, 23-30 Agustus 2005, Qom, Iran.

Friday, April 4, 2008

Empat Puluh Tahun Pemikiran Filsafat Maroko

Empat puluh tahun bukanlah waktu yang panjang dalam sejarah sebuah pemikiran. Apalah arti empat puluh tahun bagi pembentukan ushul fiqh sebagai sebuah ilmu yang berdiri sendiri ?. Apalah arti empat puluh tahun dalam sejarah filsafat yang rentang fase ke fase-nya berlangsung berabad-abad. Apalah arti empat puluh tahun bagi transformasi pengetahuan menjadi teknologi ?.

Namun empat puluh tahun itu sangat berarti dalam jagat pemikiran filsafat Maroko kontemporer. Dalam rentang yang tidak panjang, pemikiran filsafat di negeri ini menunjukkan dinamika yang luar biasa. Peletakan batu pertamanya ditandai dengan pembukaan jurusan filsafat di Universitas Muhammad V Rabat, ujung tahun lima puluhan abad yang lalu. Dimulai dari titik start ini, banyak langkah yang sudah diayunkan pemikiran filsafat di tanah Maroko.

Tentu saja, sebagaimana pengalaman filsafat Islam abad pertengahan dimulai sejak al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina, al-Ghazali, Ibnu Thufail sampai dengan Ibnu Rusyd yang banyak belajar dari filsafat Yunani, pemikiran filsafat Maroko berangkat dari pembacaan serius terhadap filsafat modern Eropa. Persoalannya, --sebagaimana dilansir Muhammad Abed al-Jabiri—bukan terletak pada materi pengetahuannya, tetapi pada tugas sejarah lokal yang diembankan kepada materi pengetahun tersebut.[1]

Sebagai pengenalan awal, muassis pemikiran filsafat Maroko –sebagaimana dinobatkan oleh Dr. Kamal Abdullatif[2]-- : Muhammad Aziz al-Habbabi, Dekan pertama Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Muhammad V Maroko (1959), mencoba untuk menanam benih pemikiran filsafat di ranah intelektual Maroko. Tokoh berpendidikan Perancis ini disamping mengemban tugas membangun tradisi filsafat di Maroko dengan pembacaan serius terutama terhadap karya-karya filsafat eropa kontemporer, ia juga terkenal dengan dua pohon pemikiran : filsafat eksistensialisme dan filsafat futuristik.

Dua pohon pemikiran ini sesungguhnya adalah satu paket proyek yang didedikasikan al-Habbabi untuk membangun masa depan Maroko dengan berangkat dari kekuatan sendiri. Filsafat eksistensialisme diadaptasinya dengan ajaran-ajaran Islam sebagai ranah pijak bagi upaya bangkit sebuah bangsa yang baru lepas dari penjajahan. Apa yang membedakannya dengan intelektual pejuang semacam Allal al-Fasi (1910-1973) dan Muhammad Belhassan al-Wazzani (1910-1978) adalah karya-karyanya yang pada dasarnya bermaksud untuk membangun pemikiran filsafat Maroko, lepas dari bungkus ideologis yang biasanya dipakai oleh tokoh-tokoh politik.[3]

Abdullah al-Arawi datang kemudian dengan konsep dan wacana filosofis yang lebih kental dan radikal. Pemikir berpendidikan Perancis ini menggebrak melalui pintu sejarah. Kerja-kerja filsafat yang ditekuninya dalam rentang sekitar tiga puluh tahun, melahirkan karya-karya filsafat[4] yang terwakili pada dua titik pemikiran: keterlambatan sejarah dan keharusan modernitas. Al-Arawi melihat dunia arab masa kini (dan dunia-dunia ketiga secara umum) mengalami keterlambatan sejarah jika diukur dengan capaian eropa masa kini. Dunia arab menurutnya, terlalu kuat dipeluk oleh tradisi dan kejayaan masa lalu: sesuatu yang menghalanginya melompat ke masa depan. Oleh karena itu ia meniscayakan pemutusan hubungan dengan segala warisan tradisi (turats).

Bersamaan dengan itu, ia juga meniscayakan keharusan modernitas. Menurutnya, modernitas adalah capaian sejarah universal yang bukan hak milik eropa. Siapapun dan bangsa manapun berhak memilikinya untuk berharmonisasi dengan keharusan sejarah. Namun menurutnya, modernitas tidak bakal dicapai tanpa revolusi kebudayaan. Untuk itu, al-Arawi mempertaruhkan diri untuk menyusun ulang pandangan dunia arab tentang konsep-konsep inti dalam modernitas semisal: konsep nalar (mafhum al-aql), konsep kemerdekaan (mafhum al-hurriyah), konsep ideologi (mafhum al-aidiulujiya), konsep negara (mafhum ad-daulah) dan konsep sejarah (mafhum at-tarikh). Dari sini, bisa dibayangkan betapa banyak dan besar perlengkapan filosofis yang dibutuhkan dan dimiliki al-Arawi untuk mengkonstruksi pemahaman sejarah dan konsep-konsep inti modernitas ini.

Kalau al-Arawi mengajak untuk memutus hubungan dengan tradisi (turats), Muhammad Abid al-Jabiri[5] melakukan proses ‘mengambil dan membuang’ : membuang unsur-unsur dalam tradisi yang bertentangan dengan modernitas dan mengambil bagian yang mendukungnya. Al-Jabiri merintis jalan melalui penataan ulang nalar arab-islam. Dengan bekal epistemologi yang bagus, Al-Jabiri meluncurkan proyek yang disebutnya sebagai “Kritik Nalar Arab”. Dengan proyeknya ini, al-Jabiri memutus hubungan dengan bangunan epistemologis filsafat gnostisisme yang diwakili oleh Ibnu Sina yang memiliki akar pada filsafat Plato dan menjatuhkan pilihan pada filsafat rasionalistik yang diwakili oleh Ibnu Rusyd yang berakar pada filsafat Aristoteles. Menurutnya, tradisi yang masih layak dijadikan bahan pijakan menyongsong masa depan terwakili oleh bangunan epistemologis yang menjadikan nalar sebagai acuan utamanya sebagaimana pada filsafat Ibnu Rusyd, Fiqh Ibnu Hazm dan Maqashid as-Syatibi.

Karya-karya al-Jabiri memang tidak sepenuhnya bisa dikatakan sebagai karya filsafat murni. Ia tidak sedang membanguan pemikiran yang sepenuhnya teoritis tanpa visi sejarah lokal dan tugas edukasi yang jelas tegas. Keterlibatannya secara langsung diawal karir kepemikirannya di partai sosialis Maroko dan sampai saat ini di dunia pendidikan Maroko membuatnya ‘bermimpi’ tentang dunia arab bangkit bersatu. Dengan kesadaran inilah ia menekuni tugas kepemikirannya. Ia berangkat dari dan dengan filsafat karena menurutnya filsafatlah yang memungkinkan untuk melakukan pembongkaran dan pembangunan kembali landasan pemikiran untuk bergulat dengan tuntutan-tuntutan riil masa kini dan masa depan. Dalam jagat filsafat Maroko kontemporer, al-Jabiri adalah guru para pemikir filsafat Maroko generasi kedua yang saat ini melahirkan karya-karya filsafat yang lebih dalam dan berani. Hingga saat inipun al-Jabiri masih mengeluarkan buah pemikirannya setiap bulan dalam format serial buku saku ‘mawaqif’.[6]

Satu lagi pemikir filsafat Maroko generasi pertama, Ali Omlel. Pemikir yang mulai mengajar di Universitas Muhammad V sejak awal tahun enam puluhan ini, dikenal sebagai pemikir filsafat Maroko yang paling obyektif. Pemikirannya masih dalam satu kerangka dengan pemikiran al-Arawi dan al-Jabiri: soal tradisi (turats) dan modernitas. Meskipun Omlel menulis tidak sebanyak dua rekan semasanya, al-Arawi dan al-Jabiri, namun ketajaman dan kedalaman analisisnya meninggalkan bekas yang kuat pada pemikiran filsafat Maroko. Pokok pikirannya terletak pada keharusan meletakkan pembacaan tradisi pada kerangka sejarahnya untuk kemudian melampauinya untuk menceburkan diri pada zaman baru dengan kesadaran historisitas yang tinggi. Baginya, adalah non sens menyandarkan modernitas pada produk keilmuan tradisional, karena konteks sejarahnya berbeda. Baginya, demokrasi dan modernitas politik adalah jawaban niscaya bagi Maroko dan negara-negara semisal.[7]

Masih menghadapi problematika yang sama dengan visi berbeda atau lebih pasnya: berseberangan, Taha Abdurrahman, tampil mengkritik modernitas dan membela dua disiplin keilmuan Islam yang seringkali ‘dikambinghitamkan’ sebagai biang kemunduran umat Islam (ilmu kalam dan tasawwuf) dengan dukungan senjata epistemologis yang dalam filsafat barat kontemporer semakin menunjukkan kekuatannya: linguistik dan ilmu logika (ilm al-manthiq). Pemikir filsafat yang sering disebut sebagai paling kreatif di jajaran para pemikir filsafat Maroko ini, melihat bahwa cara membangun argumentasi dalam ilmu kalam jauh lebih kuat ketimbang dalam filsafat. Sementara itu, nalar modernitas menurutnya berada di level paling rendah dari tiga tangga nalar (al-aql al-mujarrad, al-aql al-musaddad dan al-aql al-mu’ayyad) yang level tertingginya, menurutnya, hanya bisa dijangkau dengan olah batin melalui jalur sufistik. Ujungnya, Taha Abdurrahman hendak mengatakan bahwa kita bisa menjadi modern (mengadopsi produk keilmuan modern dari filsafat hingga teknologi) dengan tetap memelihara kehangatan hubungan dengan agama (Islam).[8]

Datanglah kemudian peran para pemikir filsafat generasi kedua. Disini muncul nama-nama seperti Muhammad Sabila, Abdussalam Benabdel Ali, Salim Yafut, Muhammad Waqidi, Kamal Abdullatif, Abdul Majid Shugair, Muhammad al-Misbahi, Jamaluddin al-Alawi dan lain-lain. Dua kerja keilmuan yang mereka lakukan adalah menterjemah dan menulis buku; menterjemah karya-karya para filosof eropa kontemporer semacam Heiddeger, Neitsche, Althusser, Levi’starusse, Michel Foucoult, Roland Barthes, Derrida dan lain-lain ; memproduksi pengetahuan dengan membaca secara kritis filsafat barat kontemporer atau memakai perangkat filsafat ini untuk membaca sisi-sisi tradisi keilmuan Islam. Titik maju yang bisa dicatat disini, adalah bahwa pusat perhatian mereka sudah lebih spesifik dan mendalam dalam unit-unit kajian semacam arkeologi pengetahuan, genealogi pengetahuan, relasi pengetahuan dan kekuasaan, epistemologi, teori wacana dan seterusnya.[9]

Dus, empat dekade menjadi begitu berarti, kalau diisi dengan keseriusan dan kerja keras.
* Mahasiswa S3 pada Jurusan Sejarah dan Peradaban Timur Universitas Abdel Malek Essaadi Tetouan Maroko.
[1] Muhammad Abed al-Jabiri, Nahnu wa at-Turats Qiraat Mu’ashirah fi Turatsina al-Falsafi, al-Markaz ats-Tsaqafi al-Arabi, Casablanca, cet 6, 1993, h 33.
[2] Kamal Abdullatif, As’ilah al-Fikr al-Falsafi fi al-Maghrib, al-Markaz ats-Tsaqafi al-Arabi, Casablanca, cet 1, 2003, h 36-37.
[3] Sebagai bahan rujukan, buku-buku karya al-Habbabi yang bisa disebut disini adalah : 1. Min al-Ka’in ila as-Syakhs. 2. As-Syakhshaniyah al-Islamiyah. 3. Min al-Munghaliq ila al-Munfatih. 4. Alam al-Ghad, al-Alam ats-Tsalits Yuttaham .
[4] Karya-karya Abdullah al-Arawi yang sudah diterbitkan adalah : 1. al-Aidiyulujiya al-Arabiyyah al-Muashirah (1967). 2. Tarikh al-Maghrib (1970) 3. Al-Arab wa al-Fikr at-Tarikhi (1973). 4. Ushul al-Harakah al-Wathaniyyah fi al-Maghrib (1978). 5. Mafhum al-Aidiyulujiya (1980). 6. Mafhum al-Hurriyah (1981). 7. Mafhum ad-Daulah (1981). 8. Tsaqafatuna fi Dlau’ at-Tarikh (1983). 9. Mafhum at-Tarikh (1996). 10. An-Naz’ah al-Islamiyah al-Libraliyyah wa al-Hadatsah (1996). 11. Mafhum al-Aql (1996). Al-Arawi juga bercerita tentang sisi-sisi dirinya dalam karya-karya yang lebih dekat ke karya sastra, yaitu: Al-Gurbah, al-Yatim, al-Fariq dan Gilah.
[5] Bagi kalangan intlektual Islam Indonesia, al-Jabiri adalah sosok yang tidak asing lagi. Karya-karya-nya sudah banyak didiskusikan terutama oleh mereka yang berminat dengan karya-karya yang memiliki keberanian untuk melakukan pembongkaran terhadap turats. Kajian terhadap karya-karya al-Jabiri bisa diletakkan dalam satu barisan dengan kajian terhadap karya-karya Nasr Hamid Abu Zayd atau sebelumnya, Muhammad Arkoun.
[6] Sebagai bahan rujukan lebih jauh, karya-karya al-Jabiri yang sudah terbit antara lain : 1. Madkhal li Falsafat al-Ulum (1976). 2. Nahnu wa at-Turats (1980). 3. Al-Khitab al-Arabi al-Mu’ashir (1982). 4. Isykaliyat al-Fikr al-Arabi al-Mu’ashir (1989). 5. Qadlaya fi al-Fikr al-Arabi al-Mu’ashir (1997). 6. Al-Mas’alah ast-Tsaqafiyah (1994). 7. Ad-Dimuqhrathiyah wa Huquq al-Insan (1994). 8. Mas’alat al-Huwiyyah (1995). 9. ad-Din wa ad-Daulah (1996). 10. Ruba’iyyat Naqd al-Aql al-Arabi (Takwin al-Aql al-Arabi, Bunyah al-Aql al-Arabi, al-Aql as-Siyasi al-Arabi dan al-Aql al-Akhlaqi al-Arabi). Sementara, serial bulanan ‘Mawaqif’, sampai saat ini, sudah terbit lebih dari tiga puluh edisi.
[7] Karya maskot Ali Omlel adalah « As-Sulthah as-Siyasiyah wa As-Sulthah as-Tsaqafiyah » (1996). Sementara buku-bukunya yang diterbitkan antara lain: 1. Al-Khitab at-Tarikhi, Dirasah li Manhajiyat Ibn Khaldun (Berbahasa Perancis, 1977). 2. Al-Ishlahiyah al-Arabiyah wa ad-Daulah al-Wathaniyyah (1985). 3. At-Turats wa at-Tajawuz (1990). 4. Fi Syar’iyyat al-Ikhtilaf (1991). 5. Mawaqif al-Fikr al-Arabi min al-Mutaghayyirat ad-Dauliyah, ad-Dimuqhrathiyyah wa al-Aulamah (1998).
[8] Buku-buku karya Taha Abdurahman yang bisa dicatat disini adalah : 1. Al-Lughah wa al-Falsafah (Dalam bahasa Perancis, 1979). 2. Al-Manthiq wa an-Nahwu as-Shuri (1979). 3. Fi Ushul al-Hiwar wa Tajdid Ilm al-Kalam (1987). 4. Al-Amal ad-Dini wa Tajdid al-Aql (1989). 5. Tajdid al-Manhaj fi Taqwim at-Turats (1994). 6. Fiqh al-Falsafah (1995). 7. Al-Lisan wa al-Mizan (1998). 9. Al-Qaul al-Falsafi (1999). 10. Su’al al-Akhlaq, Musahamah fi an-Naqd al-Akhlaqi li al-Hadatsah al-Gharbiyah (2001).
[9] Untuk pembacaan lebih lanjut, bisa dirujuk : Kamal Abdullatif, op.cit, h 151-177.

Prolog

Blog ini saya khususkan untuk memuat artikel-artikel yang saya tulis. Kawan-kawan bisa salin kalau ada yang menarik untuk disalin.