Friday, April 4, 2008

Empat Puluh Tahun Pemikiran Filsafat Maroko

Empat puluh tahun bukanlah waktu yang panjang dalam sejarah sebuah pemikiran. Apalah arti empat puluh tahun bagi pembentukan ushul fiqh sebagai sebuah ilmu yang berdiri sendiri ?. Apalah arti empat puluh tahun dalam sejarah filsafat yang rentang fase ke fase-nya berlangsung berabad-abad. Apalah arti empat puluh tahun bagi transformasi pengetahuan menjadi teknologi ?.

Namun empat puluh tahun itu sangat berarti dalam jagat pemikiran filsafat Maroko kontemporer. Dalam rentang yang tidak panjang, pemikiran filsafat di negeri ini menunjukkan dinamika yang luar biasa. Peletakan batu pertamanya ditandai dengan pembukaan jurusan filsafat di Universitas Muhammad V Rabat, ujung tahun lima puluhan abad yang lalu. Dimulai dari titik start ini, banyak langkah yang sudah diayunkan pemikiran filsafat di tanah Maroko.

Tentu saja, sebagaimana pengalaman filsafat Islam abad pertengahan dimulai sejak al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina, al-Ghazali, Ibnu Thufail sampai dengan Ibnu Rusyd yang banyak belajar dari filsafat Yunani, pemikiran filsafat Maroko berangkat dari pembacaan serius terhadap filsafat modern Eropa. Persoalannya, --sebagaimana dilansir Muhammad Abed al-Jabiri—bukan terletak pada materi pengetahuannya, tetapi pada tugas sejarah lokal yang diembankan kepada materi pengetahun tersebut.[1]

Sebagai pengenalan awal, muassis pemikiran filsafat Maroko –sebagaimana dinobatkan oleh Dr. Kamal Abdullatif[2]-- : Muhammad Aziz al-Habbabi, Dekan pertama Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Muhammad V Maroko (1959), mencoba untuk menanam benih pemikiran filsafat di ranah intelektual Maroko. Tokoh berpendidikan Perancis ini disamping mengemban tugas membangun tradisi filsafat di Maroko dengan pembacaan serius terutama terhadap karya-karya filsafat eropa kontemporer, ia juga terkenal dengan dua pohon pemikiran : filsafat eksistensialisme dan filsafat futuristik.

Dua pohon pemikiran ini sesungguhnya adalah satu paket proyek yang didedikasikan al-Habbabi untuk membangun masa depan Maroko dengan berangkat dari kekuatan sendiri. Filsafat eksistensialisme diadaptasinya dengan ajaran-ajaran Islam sebagai ranah pijak bagi upaya bangkit sebuah bangsa yang baru lepas dari penjajahan. Apa yang membedakannya dengan intelektual pejuang semacam Allal al-Fasi (1910-1973) dan Muhammad Belhassan al-Wazzani (1910-1978) adalah karya-karyanya yang pada dasarnya bermaksud untuk membangun pemikiran filsafat Maroko, lepas dari bungkus ideologis yang biasanya dipakai oleh tokoh-tokoh politik.[3]

Abdullah al-Arawi datang kemudian dengan konsep dan wacana filosofis yang lebih kental dan radikal. Pemikir berpendidikan Perancis ini menggebrak melalui pintu sejarah. Kerja-kerja filsafat yang ditekuninya dalam rentang sekitar tiga puluh tahun, melahirkan karya-karya filsafat[4] yang terwakili pada dua titik pemikiran: keterlambatan sejarah dan keharusan modernitas. Al-Arawi melihat dunia arab masa kini (dan dunia-dunia ketiga secara umum) mengalami keterlambatan sejarah jika diukur dengan capaian eropa masa kini. Dunia arab menurutnya, terlalu kuat dipeluk oleh tradisi dan kejayaan masa lalu: sesuatu yang menghalanginya melompat ke masa depan. Oleh karena itu ia meniscayakan pemutusan hubungan dengan segala warisan tradisi (turats).

Bersamaan dengan itu, ia juga meniscayakan keharusan modernitas. Menurutnya, modernitas adalah capaian sejarah universal yang bukan hak milik eropa. Siapapun dan bangsa manapun berhak memilikinya untuk berharmonisasi dengan keharusan sejarah. Namun menurutnya, modernitas tidak bakal dicapai tanpa revolusi kebudayaan. Untuk itu, al-Arawi mempertaruhkan diri untuk menyusun ulang pandangan dunia arab tentang konsep-konsep inti dalam modernitas semisal: konsep nalar (mafhum al-aql), konsep kemerdekaan (mafhum al-hurriyah), konsep ideologi (mafhum al-aidiulujiya), konsep negara (mafhum ad-daulah) dan konsep sejarah (mafhum at-tarikh). Dari sini, bisa dibayangkan betapa banyak dan besar perlengkapan filosofis yang dibutuhkan dan dimiliki al-Arawi untuk mengkonstruksi pemahaman sejarah dan konsep-konsep inti modernitas ini.

Kalau al-Arawi mengajak untuk memutus hubungan dengan tradisi (turats), Muhammad Abid al-Jabiri[5] melakukan proses ‘mengambil dan membuang’ : membuang unsur-unsur dalam tradisi yang bertentangan dengan modernitas dan mengambil bagian yang mendukungnya. Al-Jabiri merintis jalan melalui penataan ulang nalar arab-islam. Dengan bekal epistemologi yang bagus, Al-Jabiri meluncurkan proyek yang disebutnya sebagai “Kritik Nalar Arab”. Dengan proyeknya ini, al-Jabiri memutus hubungan dengan bangunan epistemologis filsafat gnostisisme yang diwakili oleh Ibnu Sina yang memiliki akar pada filsafat Plato dan menjatuhkan pilihan pada filsafat rasionalistik yang diwakili oleh Ibnu Rusyd yang berakar pada filsafat Aristoteles. Menurutnya, tradisi yang masih layak dijadikan bahan pijakan menyongsong masa depan terwakili oleh bangunan epistemologis yang menjadikan nalar sebagai acuan utamanya sebagaimana pada filsafat Ibnu Rusyd, Fiqh Ibnu Hazm dan Maqashid as-Syatibi.

Karya-karya al-Jabiri memang tidak sepenuhnya bisa dikatakan sebagai karya filsafat murni. Ia tidak sedang membanguan pemikiran yang sepenuhnya teoritis tanpa visi sejarah lokal dan tugas edukasi yang jelas tegas. Keterlibatannya secara langsung diawal karir kepemikirannya di partai sosialis Maroko dan sampai saat ini di dunia pendidikan Maroko membuatnya ‘bermimpi’ tentang dunia arab bangkit bersatu. Dengan kesadaran inilah ia menekuni tugas kepemikirannya. Ia berangkat dari dan dengan filsafat karena menurutnya filsafatlah yang memungkinkan untuk melakukan pembongkaran dan pembangunan kembali landasan pemikiran untuk bergulat dengan tuntutan-tuntutan riil masa kini dan masa depan. Dalam jagat filsafat Maroko kontemporer, al-Jabiri adalah guru para pemikir filsafat Maroko generasi kedua yang saat ini melahirkan karya-karya filsafat yang lebih dalam dan berani. Hingga saat inipun al-Jabiri masih mengeluarkan buah pemikirannya setiap bulan dalam format serial buku saku ‘mawaqif’.[6]

Satu lagi pemikir filsafat Maroko generasi pertama, Ali Omlel. Pemikir yang mulai mengajar di Universitas Muhammad V sejak awal tahun enam puluhan ini, dikenal sebagai pemikir filsafat Maroko yang paling obyektif. Pemikirannya masih dalam satu kerangka dengan pemikiran al-Arawi dan al-Jabiri: soal tradisi (turats) dan modernitas. Meskipun Omlel menulis tidak sebanyak dua rekan semasanya, al-Arawi dan al-Jabiri, namun ketajaman dan kedalaman analisisnya meninggalkan bekas yang kuat pada pemikiran filsafat Maroko. Pokok pikirannya terletak pada keharusan meletakkan pembacaan tradisi pada kerangka sejarahnya untuk kemudian melampauinya untuk menceburkan diri pada zaman baru dengan kesadaran historisitas yang tinggi. Baginya, adalah non sens menyandarkan modernitas pada produk keilmuan tradisional, karena konteks sejarahnya berbeda. Baginya, demokrasi dan modernitas politik adalah jawaban niscaya bagi Maroko dan negara-negara semisal.[7]

Masih menghadapi problematika yang sama dengan visi berbeda atau lebih pasnya: berseberangan, Taha Abdurrahman, tampil mengkritik modernitas dan membela dua disiplin keilmuan Islam yang seringkali ‘dikambinghitamkan’ sebagai biang kemunduran umat Islam (ilmu kalam dan tasawwuf) dengan dukungan senjata epistemologis yang dalam filsafat barat kontemporer semakin menunjukkan kekuatannya: linguistik dan ilmu logika (ilm al-manthiq). Pemikir filsafat yang sering disebut sebagai paling kreatif di jajaran para pemikir filsafat Maroko ini, melihat bahwa cara membangun argumentasi dalam ilmu kalam jauh lebih kuat ketimbang dalam filsafat. Sementara itu, nalar modernitas menurutnya berada di level paling rendah dari tiga tangga nalar (al-aql al-mujarrad, al-aql al-musaddad dan al-aql al-mu’ayyad) yang level tertingginya, menurutnya, hanya bisa dijangkau dengan olah batin melalui jalur sufistik. Ujungnya, Taha Abdurrahman hendak mengatakan bahwa kita bisa menjadi modern (mengadopsi produk keilmuan modern dari filsafat hingga teknologi) dengan tetap memelihara kehangatan hubungan dengan agama (Islam).[8]

Datanglah kemudian peran para pemikir filsafat generasi kedua. Disini muncul nama-nama seperti Muhammad Sabila, Abdussalam Benabdel Ali, Salim Yafut, Muhammad Waqidi, Kamal Abdullatif, Abdul Majid Shugair, Muhammad al-Misbahi, Jamaluddin al-Alawi dan lain-lain. Dua kerja keilmuan yang mereka lakukan adalah menterjemah dan menulis buku; menterjemah karya-karya para filosof eropa kontemporer semacam Heiddeger, Neitsche, Althusser, Levi’starusse, Michel Foucoult, Roland Barthes, Derrida dan lain-lain ; memproduksi pengetahuan dengan membaca secara kritis filsafat barat kontemporer atau memakai perangkat filsafat ini untuk membaca sisi-sisi tradisi keilmuan Islam. Titik maju yang bisa dicatat disini, adalah bahwa pusat perhatian mereka sudah lebih spesifik dan mendalam dalam unit-unit kajian semacam arkeologi pengetahuan, genealogi pengetahuan, relasi pengetahuan dan kekuasaan, epistemologi, teori wacana dan seterusnya.[9]

Dus, empat dekade menjadi begitu berarti, kalau diisi dengan keseriusan dan kerja keras.
* Mahasiswa S3 pada Jurusan Sejarah dan Peradaban Timur Universitas Abdel Malek Essaadi Tetouan Maroko.
[1] Muhammad Abed al-Jabiri, Nahnu wa at-Turats Qiraat Mu’ashirah fi Turatsina al-Falsafi, al-Markaz ats-Tsaqafi al-Arabi, Casablanca, cet 6, 1993, h 33.
[2] Kamal Abdullatif, As’ilah al-Fikr al-Falsafi fi al-Maghrib, al-Markaz ats-Tsaqafi al-Arabi, Casablanca, cet 1, 2003, h 36-37.
[3] Sebagai bahan rujukan, buku-buku karya al-Habbabi yang bisa disebut disini adalah : 1. Min al-Ka’in ila as-Syakhs. 2. As-Syakhshaniyah al-Islamiyah. 3. Min al-Munghaliq ila al-Munfatih. 4. Alam al-Ghad, al-Alam ats-Tsalits Yuttaham .
[4] Karya-karya Abdullah al-Arawi yang sudah diterbitkan adalah : 1. al-Aidiyulujiya al-Arabiyyah al-Muashirah (1967). 2. Tarikh al-Maghrib (1970) 3. Al-Arab wa al-Fikr at-Tarikhi (1973). 4. Ushul al-Harakah al-Wathaniyyah fi al-Maghrib (1978). 5. Mafhum al-Aidiyulujiya (1980). 6. Mafhum al-Hurriyah (1981). 7. Mafhum ad-Daulah (1981). 8. Tsaqafatuna fi Dlau’ at-Tarikh (1983). 9. Mafhum at-Tarikh (1996). 10. An-Naz’ah al-Islamiyah al-Libraliyyah wa al-Hadatsah (1996). 11. Mafhum al-Aql (1996). Al-Arawi juga bercerita tentang sisi-sisi dirinya dalam karya-karya yang lebih dekat ke karya sastra, yaitu: Al-Gurbah, al-Yatim, al-Fariq dan Gilah.
[5] Bagi kalangan intlektual Islam Indonesia, al-Jabiri adalah sosok yang tidak asing lagi. Karya-karya-nya sudah banyak didiskusikan terutama oleh mereka yang berminat dengan karya-karya yang memiliki keberanian untuk melakukan pembongkaran terhadap turats. Kajian terhadap karya-karya al-Jabiri bisa diletakkan dalam satu barisan dengan kajian terhadap karya-karya Nasr Hamid Abu Zayd atau sebelumnya, Muhammad Arkoun.
[6] Sebagai bahan rujukan lebih jauh, karya-karya al-Jabiri yang sudah terbit antara lain : 1. Madkhal li Falsafat al-Ulum (1976). 2. Nahnu wa at-Turats (1980). 3. Al-Khitab al-Arabi al-Mu’ashir (1982). 4. Isykaliyat al-Fikr al-Arabi al-Mu’ashir (1989). 5. Qadlaya fi al-Fikr al-Arabi al-Mu’ashir (1997). 6. Al-Mas’alah ast-Tsaqafiyah (1994). 7. Ad-Dimuqhrathiyah wa Huquq al-Insan (1994). 8. Mas’alat al-Huwiyyah (1995). 9. ad-Din wa ad-Daulah (1996). 10. Ruba’iyyat Naqd al-Aql al-Arabi (Takwin al-Aql al-Arabi, Bunyah al-Aql al-Arabi, al-Aql as-Siyasi al-Arabi dan al-Aql al-Akhlaqi al-Arabi). Sementara, serial bulanan ‘Mawaqif’, sampai saat ini, sudah terbit lebih dari tiga puluh edisi.
[7] Karya maskot Ali Omlel adalah « As-Sulthah as-Siyasiyah wa As-Sulthah as-Tsaqafiyah » (1996). Sementara buku-bukunya yang diterbitkan antara lain: 1. Al-Khitab at-Tarikhi, Dirasah li Manhajiyat Ibn Khaldun (Berbahasa Perancis, 1977). 2. Al-Ishlahiyah al-Arabiyah wa ad-Daulah al-Wathaniyyah (1985). 3. At-Turats wa at-Tajawuz (1990). 4. Fi Syar’iyyat al-Ikhtilaf (1991). 5. Mawaqif al-Fikr al-Arabi min al-Mutaghayyirat ad-Dauliyah, ad-Dimuqhrathiyyah wa al-Aulamah (1998).
[8] Buku-buku karya Taha Abdurahman yang bisa dicatat disini adalah : 1. Al-Lughah wa al-Falsafah (Dalam bahasa Perancis, 1979). 2. Al-Manthiq wa an-Nahwu as-Shuri (1979). 3. Fi Ushul al-Hiwar wa Tajdid Ilm al-Kalam (1987). 4. Al-Amal ad-Dini wa Tajdid al-Aql (1989). 5. Tajdid al-Manhaj fi Taqwim at-Turats (1994). 6. Fiqh al-Falsafah (1995). 7. Al-Lisan wa al-Mizan (1998). 9. Al-Qaul al-Falsafi (1999). 10. Su’al al-Akhlaq, Musahamah fi an-Naqd al-Akhlaqi li al-Hadatsah al-Gharbiyah (2001).
[9] Untuk pembacaan lebih lanjut, bisa dirujuk : Kamal Abdullatif, op.cit, h 151-177.

No comments: