Sunday, April 13, 2008

Soal Penerapan Syariat Islam di Indonesia

Mei 1998 adalah titik penting dalam sejarah bangsa Indonesia. Dari titik ini, perubahan bermula. Rezim Orde Baru (OB) yang berkuasa selama 32 tahun tumbang oleh gerakan massa. Mereka disatukan oleh sebuah tuntutan: REFORMASI.

Reformasi kemudian adalah kata kunci pada perubahan di pentas publik Indonesia. Apa yang sebelumnya tidak boleh dijamah berubah menjadi wilayah yang boleh diobrolkan secara terbuka. Wacana penerapan Syariat Islam (SI) yang di-‘tiarap’-kan pada masa OB kembali muncul ke permukaan.

Seolah memutar ulang fragmen sejarah, perdebatan tentang Piagam Jakarta kembali mengemuka di sidang umum MPR. Aceh yang menjadikan penerapan SI sebagai kartu tawar menawar politik dengan Jakarta (Pemerintah Pusat), mendapatkan kado istimewa dengan terbitnya UU Nomor 44/1999 tentang keistimewaan Aceh; sebuah undang-undang yang menandai mulainya pemberlakuan SI di Aceh. Melalui pintu otonomi daerah, banyak daerah lain yang kemudian menerbitkan peraturan-peraturan daerah (perda) yang mengadopsi SI. Belakangan, rancangan undang-undang anti pornografi dan porno aksi (RUU APP) ditengarai sebagai perwujudan SI.

Pertanyaan yang segera mengemuka adalah : ada apa dengan gairah besar dari sebagian komponen bangsa untuk menerapkan SI di Indonesia?. Apakah SI memang jalan keluar bagi bangsa Indonesia yang didera seribu satu masalah itu? Apa problem-problem krusial bagi penerapan SI di Indonesia?. Adakah jalan keluar yang rasional dan realistis bagi kontroversi penerapan SI di Indonesia?. Pertanyan-pertanyaan yang hendak dibahas dalam tulisan ini.


Problem-problem Penerapan SI di Indonesia

Kata kontroversi adalah kata yang pas untuk mewakili wacana ini. Karena memang kontroversi penerapan SI di Indonesia terjadi di semua level. Tidak ada satu kata dalam hal ini.Setidaknya ada dua level yang paling kentara: internal dan eksternal.

Pada level internal, menyangkut isi tubuh syariat itu sendiri, pertanyaan-pertanyaan elementer-nya adalah: apa yang dimaksud syariat dalam hal ini (ontologis)? Bagaimana merumuskan syariat yang hendak diundangkan itu (epistemologis)? Bagaimana syariat mesti diterapkan dalam konteks lokal dengan karakter yang berbeda-beda di Indonesia (aksiologis)?

Pada level ontologis, perdebatan tentang Syariat Islam sebenarnya bukan khas Indonesia. Pemikiran Arab kontemporer banyak berbicara tentang masalah ini. Persoalan poros-nya adalah: bagaimana memandang kaitan antara teks (suci: al-Qur’an, hadits dengan segala derivasi-nya) dengan realitas. Setidaknya ada tiga aliran dalam hal ini: skriptural, moderat dan liberal. Kaum skripturalis memandang bahwa realitas mesti tunduk kepada teks. Aliran moderat melihat bahwa teks dan realitas mesti berdialog untuk menghasilkan aturan yang disepakati. Sedangkan kelompok liberal melihat bahwa oleh karena teks diturunkan demi kepentingan realitas, maka ia harus menyesuaikan diri dengan realitas.

Untuk menurunkannya dalam konteks Indonesia misalnya, kita bisa mengambil beberapa contoh. 1. Kontroversi pajak sebagai zakat yang dipicu oleh buku “Agama Keadilan” yang ditulis Masdar Farid Mas’udi, sekarang salah seorang Ketua PBNU. 2. Kontroversi Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang digagas oleh Musdah Mulia dkk yang berimplikasi serius pada beberapa hukum keluarga semisal poligami, kawin beda agama dan nikah mut’ah. 3. Kontroversi perda pelacuran di Kabupaten Tanggerang dan yang masih hangat di wacana publik: kontroversi seputar RUU APP. Pertanyaannya adalah: manakah yang syariat dari pendapat yang berseberangan itu?.

Problem ontologis ini berkaitan erat dengan perangkat metodologis-epistemologis. Persoalan krusial disini adalah menyangkut legalitas perangkat penggalian hukum yang belakangan coba ditawarkan untuk mengakurkan teks dan realitas, semisal: perangkat takwil sebagaimana ditawarkan Nasr Hamid Abu Zayd, pendekatan Kritik Nalar yang diusulkan Mohammed Abed al-Jabiri, pembongkaran nasikh-mansukh yang dilakukan Abdullah Ahmed an-Naem, penggunaan hermeneutika-semiotika yang ditawarkan Arkoun dan seterusnya.

Tawaran-tawaran ini berangkat dari keyakinan bahwa Ushul Fiqh tidak lagi memadai untuk mengawal laju perubahan di tingkat realitas. Mengapa? Karena Ushul Fiqh ujung-ujungnya ‘betekuk lutut’ di hadapan superioritas teks. Padahal teks tidak lahir dari ruang hampa. Ia mesti berinteraksi dengan dunia manusia dengan segala pernik-perniknya. Kalau Ushul Fiqh sebagai perangkat masih tetap dianggap mumpuni oleh aliran moderat saja, mulai diragukan kapasitasnya dalam mengawal perubahan dengan produk-produk hukum yang aplikabel, bagaimana dengan mekanisme tertutup (dari teks ke teks) yang diyakini oleh kelompok skripturalis?. Fakta sosiologis menunjukkan bahwa ketiga kelompok ini –dengan perangkatnya masing-masing—masih sedang bergulat dalam wacana Indonesia kontemporer. Tidakkah ini problematis?.

Lantas pada level aksiologis, syariat Islam berhadapan dengan persoalan yang tidak sederhana. Ini mengatarkan kita untuk berpindah pada sisi eksternal dari problem penerapan SI di Indonesia. Untuk mengambil beberapa sampel, kita bisa menyebut –dalam konteks ini-- : problem pluralitas-kebhinekaan Indonesia, transformasi sosial dan interaksi-belajar dengan dan dari dunia luar (negara-negara muslim dan negara-negara barat).

Pada soal pluralitas-kebhinekaan Indonesia, penerapan SI di Indonesia menghadapi tantangan serius. Masalahnya, Indonesia ditakdirkan lahir sebagai bangsa yang heterogen (warna-warni) bukan homogen (satu warna) dan itu direpresentasi oleh Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar negara dan konstitusi. Akibatnya, seluruh warga negara Indonesia berkedudukan dan berhak mendapat perlindungan dan perlakuan yang sama dari negara tanpa memandang latar belakang agama, suku dan warna kulit. Persoalan paling serius disini adalah: bagaimana penerapan syariat tidak melibas-menafikan keserbanekaan tersebut.

Kondisi inilah yang menjelaskan mengapa pendekatan politik-legal penerapan SI selalu mendapat tentangan, bukan hanya dari kalangan non muslim, bahkan dari kalangan tokoh-tokoh Islam sendiri. Taruhannya sangat serius yaitu eksisnya Indonesia sebagai bangsa yang kokoh bersatu. Maka, banyak tokoh atau organisasi Islam yang mengambil jalan panjang dengan transformasi sosial. Artinya, masyarakat –lewat lemba-lembaga dan nilai-nilai sosial—terus dikondisikan untuk semakin Islami. Idealismenya, tanpa pendekatan politik-kenegaraan pun kelak, rakyat Indonesia akan menjalankan syariat Islam dengan sendirinya.

Disamping itu, perlu ada dukungan internasional bagi penerapan SI di negara tertentu. Sebagaimana kita tahu, sekarang ini, Islam tengah menjadi pusat perhatian dunia. Sejak persitiwa 9/11, dunia Islam dihadapkan pada dua tantangan sekaligus: konsolidasi internal –di seluruh levelnya—dan penghadapan eksternal terutama dengan negara-negara barat (Amerika-Eropa). Di tengah tumpang tindih tata dunia yang diwarnai logika kekuatan-kekuasaan ini, penerapan syariat menjadi isu sensitif internasional. Bisakah Indonesia yang dikenal sebagai negara muslim moderat, tetap bisa menjaga kredibilitasnya dalam pergaulan internasional ketika penerapan SI semakin gencar di lakukan di daerah-daerah?.


Mencari Solusi: Mencoba Lebih Maju dari Sekedar Kontroversi

Kita mulai dari satu titik berangkat (starting point) bahwa Indonesia dengan Pancasila dan UUD 1945-nya adalah pilihan final. Jika tidak, kita tidak akan memiliki kerangka sosial-historis untuk berbicara penerapan SI di Indonesia. Penerapan SI di Indonesia tidak mungkin dimulai dari titik nol seolah-olah negara yang bernama Indonesia itu baru dimulai.

Jika titik ini disepakati, barulah kita bisa berikhtiar kreatif untuk mencari solusi bagi penerapan SI di Indonesia yang problematis itu.

Pandangan ini meniscayakan kesediaan untuk berbagi dan berkompetisi dalam berbuat kebaikan. Bahwa dalam wadah negara Indonesia, Islam hanyalah salah satu unsur pembentuk nilai-nilai, pandangan dunia dan pewarna lembaga-lembaganya. Pandangan ini pada saat yang sama tidak memberikan jawaban serba jadi bagi soal penerapan SI di Indonesia. Artinya, pendekatannya mesti induktif. Berangkat dari pemahaman yang tuntas-mendalam terhadap realitas, baru kemudian dicarikan jawaban yang match dalam khazanah syariat Islam yang kaya itu.

Kongkritnya begini: sebagai sebuah langkah gradual, tahapan teknis yang harus dilalui adalah: 1. Memahami realitas apa adanya. 2. Mencari dan mengusahakan jawaban yang sesuai dari syariat Islam. Kedua pekerjaan ini tidak mengharuskan keterlibatan negara, melaikan usaha gigih dari orang per orang dan organisasi sosial-keagamaan. Kalau boleh beranalogi dengan kasus Amerika, apa yang dilakukan oleh lembaga agama yang ujung-ujungnya melahirkan apa yang disebut barisan kanan di gedung putih, adalah contoh bagaimana lembaga agama bergerak gigih di tingkat massa untuk kemudian sampai ke ranah negara tanpa perlu pendekatan formalistik.

Dalam konteks Indonesia, tantangan terbesarnya adalah bagaimana menjadikan tokoh dan organisasi sosial-keagamaan bisa berdialog sehat untuk secara cool ber-ijtihad menghasilkan hukum-hukum syariat (fiqh) yang match dengan kenyataan sosial lokal di Indonesia. Usaha ini akan menuntaskan persoalan ontologis dan epistemologis yang diintrodusir di atas. Ketimbang bertarung terbuka di media yang kental dengan nuansa ideologis-politis, mengapa mereka tidak duduk bersama di ruang ber-AC untuk membicarakan hukum-hukum SI yang klop dengan kondisi dimana ia mesti diterapkan dan dengan cara bagaiamana ia mesti diperjuangkan?.

Sementara itu, pada level eksternal, tranformasi sosial yang sudah dilakukan, misalnya oleh NU sejak 1984, perlu terus dilakukan dengan kualitas yang terus ditingkatkan. Langkah ini selanjutnya dikemas dengan wacana yang santun, anti kekerasan, dialogis dan mengedepankan rahmat. Ketika terbukti di bumi realitas bahwa Islam betul-betul menjadi rahmat bagi semua, tanpa diformalkan sekalipun, Islam akan menjadi nilai obyektif di tengah masyarakat. Dalam khazanah klasik, pandangan seperti ini, misalnya kita temukan pada visi politik Imam Malik yang belakangan mazhab fiqh-nya lebih memungkinkan akrab dengan tradisi lokal dengan konsep mashlahah mursalah dan maqashid syariah-nya.

Selanjutnya kesediaan untuk tunduk pada aturan main bersama (rule of the game) pada saat kekuatan umat Islam telah menjelma menjadi entitas politik berupa partai-partai harus terus dipupuk dalam semangat menyemaikan demokrasi. Sebab terbukti bahwa demokrasi sebagai perangkat bernegara tidak kontradiktif dengan Islam. Dan akhirnya, tetap perlu digalang konsolidasi global antar negara dan komunitas muslim untuk mewujudkan tata dunia yang lebih adil dan damai.

Semua tawaran aksi ini, sama sekali bukan jawaban jadi. Kerja keras dalam mewujudkannya akan menentukan masa depan Indonesia. Satu hal yang penting kita tegaskan: ketimbang energi bangsa kita habis untuk ‘bertengkar’ dalam soal-soal yang tidak perlu, mengapa kita tidak membicarakan sesuatu yang dalam jangka panjang lebih menjamin kohesi kebangsaan, kebanggaan menjadi sebuah bangsa dan capaian-capaian riil pada pembangunan benda maupun manusianya. Bukankah seluruh elemen bangsa dengan segala pelangi ideologi dan jalan hidupnya berujung pada muara menjadikan Indonesia sebagai negara yang aman, damai, adil dan sejahtera?.

Tinggal kita mesti bertanya kepada diri kita masing-masing: apakah yang bisa kita sumbangkan dalam kerja besar ini?. Kita sendirilah yang bisa menjawabnya dengan kerja nyata.

No comments: