Prolog
Dalam tema besar yang ditawarkan panitia, tema tulisan ini merupakan derivasi dari tema: Masyarakat Religius dan Problem Konsepsi. Membangun masyarakat religius memang harus dimulai dari pilihan konsep yang tepat. Karena istilah masyarakat religius masih abstrak dan butuh konseptualisasi serius. Banyak masalah yang harus dibongkar, dirumuskan ulang dan dicarikan jawaban yang tepat menyangkut konsepsi masyarakat religius.
Oleh karena itu, dengan tema ini, penulis hendak menelusuri dua istilah kunci dalam membangun kosepsi masyarakat religius: sekularisme-sekularisasi dan puritanisme-puritanisasi. Untuk menjadikan tulisan ini runtut dan sistematis, penulis hendak memulai pembicaraan tentang makna-makna (sekularisme-sekularisasi dan puritanisme-puritanisasi), pergeseran-pergeserannya, implikasi-implikasi-nya, masa depannya dan upaya mencari model masyarakat religius yang tepat dalam konteks kekinian.
Makna Sekularisasi dan Puritanisasi
Telah menjadi kesepakatan bahwa sekularisme lahir, besar dan melembaga di masyarakat barat. Prosesnya bermula dari gerakan reformasi agama yang titik tolaknya berangkat berbarengan dengan kelahiran era modern di Eropa Barat pada sekitar abad ke-16. Gerakan ini hendak membongkar kerjasama manis antara gereja dan negara yang melahirkan struktur masyarakat yang tiranik dan menindas. Mereka hendak membersihkan negara dari hegemoni dan pengaruh tokoh-tokoh agama (Katolik).
Oleh karena itu, tiga level sekularisme yang mesti dipahami adalah bahwa pada level filosofis, sekularisme bermakna keyakinan bahwa hidup bisa diatur dengan proses penalaran tanpa mengambil rujukan dari Tuhan atau konsep-konsep supra natural; pada level sosial bermakna anggapan bahwa keyakinan keagamaan bukanlah nilai bersama masyarakat; sedangkan pada level negara atau pemerintahan bermakna kebijakan untuk mencegah pencampuradukan agama dan negara, penghentian diskriminasi antara agama dan penjaminan hak asasi manusia warga negara tanpa memandang agama dan keyakinannya.
Meskipun sekularisme lahir dan besar di Barat, proses penyebaran sekularisme (sekularisasi) belakangan telah menjadikan faham ini menyebar ke hampir seluruh belahan dunia, lebih-lebih setelah runtuhnya komunisme menyusul ambruknya Uni Soviet sebagai negara benteng komunisme. Saat ini, mayoritas negara-negara di dunia, telah menjadi sekular, setidaknya pada salah satu dari tiga level sekularisme tadi.
Sementara itu, puritanisme pada awalnya adalah gerakan ‘pemberontakan’ di lingkungan gereja Inggris pada akhir abad ke-16. Istilah ini, dalam sejarahnya, lebih menunjukkan sebuah gerakan ketimbang sekte dalam agama. Gerakan ini muncul karena, setidaknya, dua hal: pertama, fenomena gereja yang berada di bahwa kontrol kerajaan Inggris dan kedua, kenyataan bahwa gereja telah dikotori –versi kaum puritan-- dengan perilaku, hubungan dengan kaum pagan dan keharusan-keharusan yang dikeluarkan oleh raja dan para pastor. Hal-hal inilah yang menjadikan mereka terobsesi untuk memurnikan (purify) kembali institusi gereja. Dua tokoh yang menjadi rujukan kaum puritan adalah Jhon Calvin (Genewa) dan Martin Luther (Jerman). Keduanya adalah tokoh Kristen Protestan. Meskipun gerakan ini lahir di Inggris, namun ia berkembang di Amerika, di daerah New England oleh sebab nenek moyang gerakan ini yang menyeberang ke Amerika karena melarikan diri dari pimpinan gereja dan raja Inggris.
Ajaran-ajaran pokok puritanisme dapat diringkas sebagai berikut: 1. kekuasaan mutlak Tuhan terhadap segala urusan manusia. 2. setiap orang harus diperbaiki untuk berjuang melawan dosa dan melakukan perbuatan baik di hadapan Tuhan. 3. kekaguman terhadap tokoh-tokoh kristen awal. 4. peribadatan di gereja harus ditata ulang sesuai dengan apa yang diperintahkan di dalam bibel. 5. pemerintahan sekular bertanggung jawab kepada Tuhan untuk merawat dan menghargai kebaikan dan menghukum para pendosa. 6. tekanan untuk mempelajari bibel secara otodidak dan melakukan pendidikan dan pencerahan terhadap umat agar mereka dapat membaca bibel secara mandiri. 7. syarat penguasaan bahasa asli bibel (Yunani, Ibrani dan Aramaic) buat para pastor.
Dua catatan penting yang harus dicatat disini adalah, pertama, semangat kaum puritan untuk mengembalikan ajaran dan peribadatan kristen ke dan sebagaimana dipraktekkan oleh kaum kristen awal. Kedua, semangat dan kerja keras kaum puritan untuk mendidik dan mencerahkan anggota-nya agar berpengatahuan luas dan berkeahlian tinggi. Oleh karena itu, tidak heran jika dua hal yang berlawanan disematkan sebagai ciri kaum puritan Amerika. Pertama, mereka digambarkan sebagai tertutup dan fundamentalis. Tetapi, kedua, mereka digambarkan sebagai sosok yang bekerja keras, egaliter dan suka belajar. Mereka, oleh Alexis de Tocqueville disebut sebagai pendiri demokrasi Amerika.
Laicitè dan Puritan Islam
Laicitè adalah konsepsi yang semakna dengan sekularisme, tetapi aksentuasinya lebih pada sisi politik, yaitu pemisahan lembaga agama (gereja) dari negara dan absennya agama dari urusan-urusan pemerintahan. Konsep ini lahir dan besar di Perancis. Saat ini, konsep laicité telah diterima oleh mayoritas orang Perancis dan telah menjadi konsep inti dari konstitusi Perancis.
Konsep ini melarang agama mengintervensi negara. Agama tidak boleh memasukkan agendanya di ranah negara atau pemerintahan. Sebaliknya, negara dilarang mengadopsi atau berpihak kepada agama tertentu. Negara harus tetap netral terhadap semua agama dan –pada saat yang sama—bersih dari pengaruh agama. Namun demikian, konsep ini tidak mengandung permusuhan terhadap negara. Ia tetap memberikan kebebasan pemeluk agama untuk menganut dan mengamalkan agamanya. Yang hendak dijaga oleh konsep ini adalah agar agama tetap berada di ranah privat, tidak masuk dan berkuasa di ranah publik.
Laicité lahir dari konflik pahit yang terjadi berabad-abad antara masyarakat dan agama selama revolusi Perancis (mulai 1789). Revolusi yang hendak mengeluarkan agama dari menghegemoni ruang publik, meski telah dimulai sejak abad ke-18, baru berhasil pada 1905 dalam bentuk pemisahan total antara gereja dan negara. Dari latar belakang historis ini, banyak pemikir, melihat Laicité bersikap lebih keras terhadap agama ketimbang sekularisme (bandingkan dalam contoh kontemporer antara Perancis dan Inggris dalam kasus pelarangan jilbab) karena pendekatan dan aksentuasinya yang bersifat politik.
Sementara itu, meskipun jelas bahwa puritanisme adalah istilah yang lahir dalam konteks sejarah barat, khususnya Inggris dan menyangkut pengalaman agama Kristen, banyak orang mencoba mencari padanannya pada pengalaman agama dan dunia Islam. Identifikasinya dilakukan dengan mencari persamaan antara gerakan puritanisme pada konteks aslinya dengan gerakan yang memiliki semangat serupa di dunia Islam. Ditemukanlah kemudian gerakan Salafyyah, Wahabiyah dan gerakan-gerakan Islam politik di berbagai negara Arab dan Islam.
Gerakan Salafiyah hendak memurnikan ajaran islam dari apa yang mereka sebut bid’ah dan kembali kepada dua sumber utama Islam: al-Qur’an dan as-Sunnah. Rujukan sosiologisnya adalah apa yang hidup dan dianut pada masa Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Aspek inilah yang menjadikan gerakan ini disebut Puritan Islam. Sebagai sebuah mazhab pemikiran, gerakan ini bisa dirujuk kepada Ibnu Taymiyah. Namun sebagai sebuah gerakan sosial, politik dan intelektual sekaligus, gerakan ini bisa dirujuk pada akhir abad ke-19 kepada tokoh-tokoh semacam Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridla. Pada masanya, gerakan ini hendak membersihkan umat Islam dari karat peradaban dan membangunkannya untuk berjuang melawan penjajahan (dalam konteks Mesir, perlawanan terhadap Inggris).
Sementara itu, Wahabiyah dipelopori pada abad ke-18 oleh Muhammad ibn Abdul Wahab di semenanjung Arab. Gerakan ini meyakini keharusan untuk kembali secara harfiyah kepada Islam yang asli (versi mereka), Islam yang sederhana dengan ritual yang sederhana. Mereka menolak pemahaman Islam yang mengaitkannya dengan konteks sejarah dan rasionalitas. Islam menurut kelompok ini adalah apa yang tertulis di kitab suci dan di hadits Rasulullah, tanpa perlu ditafsir-tafsirkan lagi. Bersamaan dengan berdirinya rezim Abd al-Aziz ibn Saud di awal abad ke-20, wahabiyah menjelma menjadi ideologi dan pilihan cara beragama negara Saudi Arabia.
Pertarungan Barat vs Islam (Politik)
Jika boleh disederhanakan, dua entitas: sekularisme dan laicité di satu pihak; dan puritanisme dan Puritan Islam di pihak lain, memiliki ide, visi dan tujuan yang berlawanan arah. Sekularisme dan laicité hendak mengatur dunia ini dengan cara profan, mengurus negara dengan akal semata dan ujung-ujungnya memisahkan detil-detil kehidupan dari nilai-nilai sakral yang bersumber dari Tuhan. Sementara puritanisme dan Puritan Islam hendak merevitalisasi peran agama dalam kehidupan, menerapkan perintah-perintah agama baik dalam urusan privat maupun publik dan memperjuangkan tegaknya sebuah negara (dalam kasus Islam Politik: Khilafah) yang akan mengatur segala aspek kehidupan manusia berdasarkan hukum Tuhan.
Entitas pertama, sekularisme, diusung oleh Barat sebagai nation-state dan negara-negara bekas jajahan yang tersekularkan. Sedangkan entitas kedua diusung gerakan-gerakan Islam politik (al-Qaidah, Ikhwan al-Muslimin, Thaliban dll) yang belakangan, setidaknya sejak September 2001, menunjukkan tren menanjak dan kekuatan yang sangat dahsyat. Memang terasa tidak fair, untuk membatasi pembicaraan tentang puritanisme dan puritanisasi, dalam konteks ini, pada fenomena Islam politik. Namun untuk melihat konflik yang mewarnai dunia sekarang dan ke depan, penghadapan Barat dan Islam Politik menjadi valid.
Dua kelompok yang berhadapan frontal ini, sebagaimana kita amati setidaknya lima tahun belakangan, menunjukkan bahwa keduanya bersiap untuk mengarungi perang panjang. Barat yang dimotori Amerika dan Inggris menunjukkan sikap keras dan gigih untuk mempertahankan prinsip-prinsipnya. Setelah perang Afghanistan dan Iraq, Amerika bersiap untuk meluncurkan apa yang disebutnya sebagai proyek demokratisasi di Timur Tengah; sebuah proyek yang termasuk dalam kerangka menyusun peta baru Timur Tengah Raya (as-Syarq al-Awsath al-Kabir).
Sementara itu, kelompok Islam Politik, meskipun digempur dengan kekuatan militer di dua perang terakhir, Afghanistan dan Iraq, belum menunjukkan tanda-tanda kehabisan nafas. Bahkan, ancaman yang mereka lancarkan terhadap Amerika dan sekutunya, sebagaimana yang hampir setiap hari terjadi di Iraq dan pengeboman London yang terjadi belum lama, tetap menjadikan Barat sebagai target operasi nomor wahid. Dari persembunyiannya, secara bergantian, Osama bin Laden dan Ayman adz-Dzawahiri, pucuk pimpinan al-Qaidah, tampil di layar kaca menegaskan konsistensi mereka untuk perang panjang melawan Amerika dan para sekutunya.
Tak pelak, kisah dunia kita kini dan ke depan adalah kisah pertarungan kedua kekuatan ini. Keduanya, dengan caranya masing-masing, siap untuk mengarungi perang total. Dan yang pasti, nyawa rakyat sipil yang menjadi korban akan terus berjatuhan. Oleh karena itu, untuk membaca tata dunia dan memprediksi masa depan kita, kedua variabel mesti kita masukkan dalam perenungan. Yang terpenting sekarang ini adalah jawaban atas sebuah pertanyaan: Adakah jalan keluar dari jalan buntu dan lingkaran setan kekerasan ini?.
Islam Moderat, Model Alternatif
Jawaban yang paling mungkin dari pertanyaan terakhir ini adalah Islam Moderat: sebuah model pemahaman dan pengamalan Islam yang memungkinkan umat Islam melakukan dialog dengan hasil peradaban modern untuk mengambil yang baik dan membuang yang buruk. Proses mengambil dan membuang ini memungkinkan umat Islam untuk tidak menempuh jalan ‘ambil semua atau kehilangan semua’, tetapi menerima institusi dan pranata yang berkembang di masyarakat dan berupaya mentransformasikannya untuk terus menjadi semakin Islami.
Kita bisa mengambil tiga contoh untuk pilihan dan pedekatan ini. Pertama, contoh sukses Partai Pembangunan dan Keadilan Turki (Ak Party) pada Pemilu 2002 dan menguasai mayoritas kursi parlemen. Partai yang berlatar belakang Islam ini tanpa ragu mengayuh langkah Turki untuk bergabung dengan Uni Eropa. Prinsip yang dipegangnya adalah penyeimbangan nilai-nilai Islam dengan tuntutan sistem politik sekular dan demokratis. Kedua, contoh Malaysia. Saat ini Malaysia mengundang kekaguman banyak pihak karena dinilai berhasil mentransformasi diri menjadi negeri Islam yang modern. Mahathir Muhammad yang banyak berperan memajukan Malaysia memegang prinsip membasiskan aktifitas politik kepada al-Qur’an yang match dengan banyak capaian dari gerakan pencerahan di Barat.
Ketiga, tentu saja, contoh Indonesia. Betapapun Indonesia masih jauh dari ideal negara-bangsa yang dicita-citakan para founding fathers-nya, namun cara beragama mayoritas orang Indonesia bisa menjadi model alternatif. Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah sebagai dua organisasi Islam paling berpengaruh di Indonesia menjadi promotor gigih Islam Moderat yang bisa berdialog dengan barat dan memiliki akar yang kuat di grass root. Modal ini, bahkan menjadi modal diplomasi andalan Indonesia ke dunia Internasional belakangan ini.
Selebihnya, kita juga melihat fenomena semakin dewasanya partai-partai politik yang berlatar belakang Islam. Di banyak negara, partai-partai yang sejatinya masuk dalam kategori Islam Politik ini, mulai masuk ke ranah kekuasaan dan menerima aturan main yang dibuat bersama. Artinya, perjuangan menegakkan nilai-nilai Islam, kini mulai dipahami tidak hanya dengan memulai dari nol mendirikan negara baru yang bernama negara Islam atau khilafah, tetapi lebih halus dari itu, mengisi wadah yang sudah ada dengan nilai, keteladanan, perundang-undangan dan sistem yang semakin Islami.EpilogKembali ke tema: Sekularisasi dan Liberalisasi, bisa dibilang bahwa tugas sejarah kita adalah bagaimana mencari alternatif-alternatif dari dua arus ekstrem yang bertubrukan ini. Untuk itulah kita ber-seminar dan lokakarya kali ini. Semoga saja, kontribusi kita bisa didengar, dipahami dan dipakai sebagai bahan untuk membangun masyarakat religius yang kita inginkan.
-*-Makalah ini disampaikan pada Seminar dan Lokakarya "Membangun Masyarakat Religius", Badan Kerjasama Perhimpunan Pelajar Indonesia (BK-PPI) Se-Timur Tengah dan Sekitarnya, 23-30 Agustus 2005, Qom, Iran.
Showing posts with label filsafat. Show all posts
Showing posts with label filsafat. Show all posts
Saturday, April 5, 2008
Friday, April 4, 2008
Empat Puluh Tahun Pemikiran Filsafat Maroko
Empat puluh tahun bukanlah waktu yang panjang dalam sejarah sebuah pemikiran. Apalah arti empat puluh tahun bagi pembentukan ushul fiqh sebagai sebuah ilmu yang berdiri sendiri ?. Apalah arti empat puluh tahun dalam sejarah filsafat yang rentang fase ke fase-nya berlangsung berabad-abad. Apalah arti empat puluh tahun bagi transformasi pengetahuan menjadi teknologi ?.
Namun empat puluh tahun itu sangat berarti dalam jagat pemikiran filsafat Maroko kontemporer. Dalam rentang yang tidak panjang, pemikiran filsafat di negeri ini menunjukkan dinamika yang luar biasa. Peletakan batu pertamanya ditandai dengan pembukaan jurusan filsafat di Universitas Muhammad V Rabat, ujung tahun lima puluhan abad yang lalu. Dimulai dari titik start ini, banyak langkah yang sudah diayunkan pemikiran filsafat di tanah Maroko.
Tentu saja, sebagaimana pengalaman filsafat Islam abad pertengahan dimulai sejak al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina, al-Ghazali, Ibnu Thufail sampai dengan Ibnu Rusyd yang banyak belajar dari filsafat Yunani, pemikiran filsafat Maroko berangkat dari pembacaan serius terhadap filsafat modern Eropa. Persoalannya, --sebagaimana dilansir Muhammad Abed al-Jabiri—bukan terletak pada materi pengetahuannya, tetapi pada tugas sejarah lokal yang diembankan kepada materi pengetahun tersebut.[1]
Sebagai pengenalan awal, muassis pemikiran filsafat Maroko –sebagaimana dinobatkan oleh Dr. Kamal Abdullatif[2]-- : Muhammad Aziz al-Habbabi, Dekan pertama Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Muhammad V Maroko (1959), mencoba untuk menanam benih pemikiran filsafat di ranah intelektual Maroko. Tokoh berpendidikan Perancis ini disamping mengemban tugas membangun tradisi filsafat di Maroko dengan pembacaan serius terutama terhadap karya-karya filsafat eropa kontemporer, ia juga terkenal dengan dua pohon pemikiran : filsafat eksistensialisme dan filsafat futuristik.
Dua pohon pemikiran ini sesungguhnya adalah satu paket proyek yang didedikasikan al-Habbabi untuk membangun masa depan Maroko dengan berangkat dari kekuatan sendiri. Filsafat eksistensialisme diadaptasinya dengan ajaran-ajaran Islam sebagai ranah pijak bagi upaya bangkit sebuah bangsa yang baru lepas dari penjajahan. Apa yang membedakannya dengan intelektual pejuang semacam Allal al-Fasi (1910-1973) dan Muhammad Belhassan al-Wazzani (1910-1978) adalah karya-karyanya yang pada dasarnya bermaksud untuk membangun pemikiran filsafat Maroko, lepas dari bungkus ideologis yang biasanya dipakai oleh tokoh-tokoh politik.[3]
Abdullah al-Arawi datang kemudian dengan konsep dan wacana filosofis yang lebih kental dan radikal. Pemikir berpendidikan Perancis ini menggebrak melalui pintu sejarah. Kerja-kerja filsafat yang ditekuninya dalam rentang sekitar tiga puluh tahun, melahirkan karya-karya filsafat[4] yang terwakili pada dua titik pemikiran: keterlambatan sejarah dan keharusan modernitas. Al-Arawi melihat dunia arab masa kini (dan dunia-dunia ketiga secara umum) mengalami keterlambatan sejarah jika diukur dengan capaian eropa masa kini. Dunia arab menurutnya, terlalu kuat dipeluk oleh tradisi dan kejayaan masa lalu: sesuatu yang menghalanginya melompat ke masa depan. Oleh karena itu ia meniscayakan pemutusan hubungan dengan segala warisan tradisi (turats).
Bersamaan dengan itu, ia juga meniscayakan keharusan modernitas. Menurutnya, modernitas adalah capaian sejarah universal yang bukan hak milik eropa. Siapapun dan bangsa manapun berhak memilikinya untuk berharmonisasi dengan keharusan sejarah. Namun menurutnya, modernitas tidak bakal dicapai tanpa revolusi kebudayaan. Untuk itu, al-Arawi mempertaruhkan diri untuk menyusun ulang pandangan dunia arab tentang konsep-konsep inti dalam modernitas semisal: konsep nalar (mafhum al-aql), konsep kemerdekaan (mafhum al-hurriyah), konsep ideologi (mafhum al-aidiulujiya), konsep negara (mafhum ad-daulah) dan konsep sejarah (mafhum at-tarikh). Dari sini, bisa dibayangkan betapa banyak dan besar perlengkapan filosofis yang dibutuhkan dan dimiliki al-Arawi untuk mengkonstruksi pemahaman sejarah dan konsep-konsep inti modernitas ini.
Kalau al-Arawi mengajak untuk memutus hubungan dengan tradisi (turats), Muhammad Abid al-Jabiri[5] melakukan proses ‘mengambil dan membuang’ : membuang unsur-unsur dalam tradisi yang bertentangan dengan modernitas dan mengambil bagian yang mendukungnya. Al-Jabiri merintis jalan melalui penataan ulang nalar arab-islam. Dengan bekal epistemologi yang bagus, Al-Jabiri meluncurkan proyek yang disebutnya sebagai “Kritik Nalar Arab”. Dengan proyeknya ini, al-Jabiri memutus hubungan dengan bangunan epistemologis filsafat gnostisisme yang diwakili oleh Ibnu Sina yang memiliki akar pada filsafat Plato dan menjatuhkan pilihan pada filsafat rasionalistik yang diwakili oleh Ibnu Rusyd yang berakar pada filsafat Aristoteles. Menurutnya, tradisi yang masih layak dijadikan bahan pijakan menyongsong masa depan terwakili oleh bangunan epistemologis yang menjadikan nalar sebagai acuan utamanya sebagaimana pada filsafat Ibnu Rusyd, Fiqh Ibnu Hazm dan Maqashid as-Syatibi.
Karya-karya al-Jabiri memang tidak sepenuhnya bisa dikatakan sebagai karya filsafat murni. Ia tidak sedang membanguan pemikiran yang sepenuhnya teoritis tanpa visi sejarah lokal dan tugas edukasi yang jelas tegas. Keterlibatannya secara langsung diawal karir kepemikirannya di partai sosialis Maroko dan sampai saat ini di dunia pendidikan Maroko membuatnya ‘bermimpi’ tentang dunia arab bangkit bersatu. Dengan kesadaran inilah ia menekuni tugas kepemikirannya. Ia berangkat dari dan dengan filsafat karena menurutnya filsafatlah yang memungkinkan untuk melakukan pembongkaran dan pembangunan kembali landasan pemikiran untuk bergulat dengan tuntutan-tuntutan riil masa kini dan masa depan. Dalam jagat filsafat Maroko kontemporer, al-Jabiri adalah guru para pemikir filsafat Maroko generasi kedua yang saat ini melahirkan karya-karya filsafat yang lebih dalam dan berani. Hingga saat inipun al-Jabiri masih mengeluarkan buah pemikirannya setiap bulan dalam format serial buku saku ‘mawaqif’.[6]
Satu lagi pemikir filsafat Maroko generasi pertama, Ali Omlel. Pemikir yang mulai mengajar di Universitas Muhammad V sejak awal tahun enam puluhan ini, dikenal sebagai pemikir filsafat Maroko yang paling obyektif. Pemikirannya masih dalam satu kerangka dengan pemikiran al-Arawi dan al-Jabiri: soal tradisi (turats) dan modernitas. Meskipun Omlel menulis tidak sebanyak dua rekan semasanya, al-Arawi dan al-Jabiri, namun ketajaman dan kedalaman analisisnya meninggalkan bekas yang kuat pada pemikiran filsafat Maroko. Pokok pikirannya terletak pada keharusan meletakkan pembacaan tradisi pada kerangka sejarahnya untuk kemudian melampauinya untuk menceburkan diri pada zaman baru dengan kesadaran historisitas yang tinggi. Baginya, adalah non sens menyandarkan modernitas pada produk keilmuan tradisional, karena konteks sejarahnya berbeda. Baginya, demokrasi dan modernitas politik adalah jawaban niscaya bagi Maroko dan negara-negara semisal.[7]
Masih menghadapi problematika yang sama dengan visi berbeda atau lebih pasnya: berseberangan, Taha Abdurrahman, tampil mengkritik modernitas dan membela dua disiplin keilmuan Islam yang seringkali ‘dikambinghitamkan’ sebagai biang kemunduran umat Islam (ilmu kalam dan tasawwuf) dengan dukungan senjata epistemologis yang dalam filsafat barat kontemporer semakin menunjukkan kekuatannya: linguistik dan ilmu logika (ilm al-manthiq). Pemikir filsafat yang sering disebut sebagai paling kreatif di jajaran para pemikir filsafat Maroko ini, melihat bahwa cara membangun argumentasi dalam ilmu kalam jauh lebih kuat ketimbang dalam filsafat. Sementara itu, nalar modernitas menurutnya berada di level paling rendah dari tiga tangga nalar (al-aql al-mujarrad, al-aql al-musaddad dan al-aql al-mu’ayyad) yang level tertingginya, menurutnya, hanya bisa dijangkau dengan olah batin melalui jalur sufistik. Ujungnya, Taha Abdurrahman hendak mengatakan bahwa kita bisa menjadi modern (mengadopsi produk keilmuan modern dari filsafat hingga teknologi) dengan tetap memelihara kehangatan hubungan dengan agama (Islam).[8]
Datanglah kemudian peran para pemikir filsafat generasi kedua. Disini muncul nama-nama seperti Muhammad Sabila, Abdussalam Benabdel Ali, Salim Yafut, Muhammad Waqidi, Kamal Abdullatif, Abdul Majid Shugair, Muhammad al-Misbahi, Jamaluddin al-Alawi dan lain-lain. Dua kerja keilmuan yang mereka lakukan adalah menterjemah dan menulis buku; menterjemah karya-karya para filosof eropa kontemporer semacam Heiddeger, Neitsche, Althusser, Levi’starusse, Michel Foucoult, Roland Barthes, Derrida dan lain-lain ; memproduksi pengetahuan dengan membaca secara kritis filsafat barat kontemporer atau memakai perangkat filsafat ini untuk membaca sisi-sisi tradisi keilmuan Islam. Titik maju yang bisa dicatat disini, adalah bahwa pusat perhatian mereka sudah lebih spesifik dan mendalam dalam unit-unit kajian semacam arkeologi pengetahuan, genealogi pengetahuan, relasi pengetahuan dan kekuasaan, epistemologi, teori wacana dan seterusnya.[9]
Dus, empat dekade menjadi begitu berarti, kalau diisi dengan keseriusan dan kerja keras.
* Mahasiswa S3 pada Jurusan Sejarah dan Peradaban Timur Universitas Abdel Malek Essaadi Tetouan Maroko.
[1] Muhammad Abed al-Jabiri, Nahnu wa at-Turats Qiraat Mu’ashirah fi Turatsina al-Falsafi, al-Markaz ats-Tsaqafi al-Arabi, Casablanca, cet 6, 1993, h 33.
[2] Kamal Abdullatif, As’ilah al-Fikr al-Falsafi fi al-Maghrib, al-Markaz ats-Tsaqafi al-Arabi, Casablanca, cet 1, 2003, h 36-37.
[3] Sebagai bahan rujukan, buku-buku karya al-Habbabi yang bisa disebut disini adalah : 1. Min al-Ka’in ila as-Syakhs. 2. As-Syakhshaniyah al-Islamiyah. 3. Min al-Munghaliq ila al-Munfatih. 4. Alam al-Ghad, al-Alam ats-Tsalits Yuttaham .
[4] Karya-karya Abdullah al-Arawi yang sudah diterbitkan adalah : 1. al-Aidiyulujiya al-Arabiyyah al-Muashirah (1967). 2. Tarikh al-Maghrib (1970) 3. Al-Arab wa al-Fikr at-Tarikhi (1973). 4. Ushul al-Harakah al-Wathaniyyah fi al-Maghrib (1978). 5. Mafhum al-Aidiyulujiya (1980). 6. Mafhum al-Hurriyah (1981). 7. Mafhum ad-Daulah (1981). 8. Tsaqafatuna fi Dlau’ at-Tarikh (1983). 9. Mafhum at-Tarikh (1996). 10. An-Naz’ah al-Islamiyah al-Libraliyyah wa al-Hadatsah (1996). 11. Mafhum al-Aql (1996). Al-Arawi juga bercerita tentang sisi-sisi dirinya dalam karya-karya yang lebih dekat ke karya sastra, yaitu: Al-Gurbah, al-Yatim, al-Fariq dan Gilah.
[5] Bagi kalangan intlektual Islam Indonesia, al-Jabiri adalah sosok yang tidak asing lagi. Karya-karya-nya sudah banyak didiskusikan terutama oleh mereka yang berminat dengan karya-karya yang memiliki keberanian untuk melakukan pembongkaran terhadap turats. Kajian terhadap karya-karya al-Jabiri bisa diletakkan dalam satu barisan dengan kajian terhadap karya-karya Nasr Hamid Abu Zayd atau sebelumnya, Muhammad Arkoun.
[6] Sebagai bahan rujukan lebih jauh, karya-karya al-Jabiri yang sudah terbit antara lain : 1. Madkhal li Falsafat al-Ulum (1976). 2. Nahnu wa at-Turats (1980). 3. Al-Khitab al-Arabi al-Mu’ashir (1982). 4. Isykaliyat al-Fikr al-Arabi al-Mu’ashir (1989). 5. Qadlaya fi al-Fikr al-Arabi al-Mu’ashir (1997). 6. Al-Mas’alah ast-Tsaqafiyah (1994). 7. Ad-Dimuqhrathiyah wa Huquq al-Insan (1994). 8. Mas’alat al-Huwiyyah (1995). 9. ad-Din wa ad-Daulah (1996). 10. Ruba’iyyat Naqd al-Aql al-Arabi (Takwin al-Aql al-Arabi, Bunyah al-Aql al-Arabi, al-Aql as-Siyasi al-Arabi dan al-Aql al-Akhlaqi al-Arabi). Sementara, serial bulanan ‘Mawaqif’, sampai saat ini, sudah terbit lebih dari tiga puluh edisi.
[7] Karya maskot Ali Omlel adalah « As-Sulthah as-Siyasiyah wa As-Sulthah as-Tsaqafiyah » (1996). Sementara buku-bukunya yang diterbitkan antara lain: 1. Al-Khitab at-Tarikhi, Dirasah li Manhajiyat Ibn Khaldun (Berbahasa Perancis, 1977). 2. Al-Ishlahiyah al-Arabiyah wa ad-Daulah al-Wathaniyyah (1985). 3. At-Turats wa at-Tajawuz (1990). 4. Fi Syar’iyyat al-Ikhtilaf (1991). 5. Mawaqif al-Fikr al-Arabi min al-Mutaghayyirat ad-Dauliyah, ad-Dimuqhrathiyyah wa al-Aulamah (1998).
[8] Buku-buku karya Taha Abdurahman yang bisa dicatat disini adalah : 1. Al-Lughah wa al-Falsafah (Dalam bahasa Perancis, 1979). 2. Al-Manthiq wa an-Nahwu as-Shuri (1979). 3. Fi Ushul al-Hiwar wa Tajdid Ilm al-Kalam (1987). 4. Al-Amal ad-Dini wa Tajdid al-Aql (1989). 5. Tajdid al-Manhaj fi Taqwim at-Turats (1994). 6. Fiqh al-Falsafah (1995). 7. Al-Lisan wa al-Mizan (1998). 9. Al-Qaul al-Falsafi (1999). 10. Su’al al-Akhlaq, Musahamah fi an-Naqd al-Akhlaqi li al-Hadatsah al-Gharbiyah (2001).
[9] Untuk pembacaan lebih lanjut, bisa dirujuk : Kamal Abdullatif, op.cit, h 151-177.
Namun empat puluh tahun itu sangat berarti dalam jagat pemikiran filsafat Maroko kontemporer. Dalam rentang yang tidak panjang, pemikiran filsafat di negeri ini menunjukkan dinamika yang luar biasa. Peletakan batu pertamanya ditandai dengan pembukaan jurusan filsafat di Universitas Muhammad V Rabat, ujung tahun lima puluhan abad yang lalu. Dimulai dari titik start ini, banyak langkah yang sudah diayunkan pemikiran filsafat di tanah Maroko.
Tentu saja, sebagaimana pengalaman filsafat Islam abad pertengahan dimulai sejak al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina, al-Ghazali, Ibnu Thufail sampai dengan Ibnu Rusyd yang banyak belajar dari filsafat Yunani, pemikiran filsafat Maroko berangkat dari pembacaan serius terhadap filsafat modern Eropa. Persoalannya, --sebagaimana dilansir Muhammad Abed al-Jabiri—bukan terletak pada materi pengetahuannya, tetapi pada tugas sejarah lokal yang diembankan kepada materi pengetahun tersebut.[1]
Sebagai pengenalan awal, muassis pemikiran filsafat Maroko –sebagaimana dinobatkan oleh Dr. Kamal Abdullatif[2]-- : Muhammad Aziz al-Habbabi, Dekan pertama Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Muhammad V Maroko (1959), mencoba untuk menanam benih pemikiran filsafat di ranah intelektual Maroko. Tokoh berpendidikan Perancis ini disamping mengemban tugas membangun tradisi filsafat di Maroko dengan pembacaan serius terutama terhadap karya-karya filsafat eropa kontemporer, ia juga terkenal dengan dua pohon pemikiran : filsafat eksistensialisme dan filsafat futuristik.
Dua pohon pemikiran ini sesungguhnya adalah satu paket proyek yang didedikasikan al-Habbabi untuk membangun masa depan Maroko dengan berangkat dari kekuatan sendiri. Filsafat eksistensialisme diadaptasinya dengan ajaran-ajaran Islam sebagai ranah pijak bagi upaya bangkit sebuah bangsa yang baru lepas dari penjajahan. Apa yang membedakannya dengan intelektual pejuang semacam Allal al-Fasi (1910-1973) dan Muhammad Belhassan al-Wazzani (1910-1978) adalah karya-karyanya yang pada dasarnya bermaksud untuk membangun pemikiran filsafat Maroko, lepas dari bungkus ideologis yang biasanya dipakai oleh tokoh-tokoh politik.[3]
Abdullah al-Arawi datang kemudian dengan konsep dan wacana filosofis yang lebih kental dan radikal. Pemikir berpendidikan Perancis ini menggebrak melalui pintu sejarah. Kerja-kerja filsafat yang ditekuninya dalam rentang sekitar tiga puluh tahun, melahirkan karya-karya filsafat[4] yang terwakili pada dua titik pemikiran: keterlambatan sejarah dan keharusan modernitas. Al-Arawi melihat dunia arab masa kini (dan dunia-dunia ketiga secara umum) mengalami keterlambatan sejarah jika diukur dengan capaian eropa masa kini. Dunia arab menurutnya, terlalu kuat dipeluk oleh tradisi dan kejayaan masa lalu: sesuatu yang menghalanginya melompat ke masa depan. Oleh karena itu ia meniscayakan pemutusan hubungan dengan segala warisan tradisi (turats).
Bersamaan dengan itu, ia juga meniscayakan keharusan modernitas. Menurutnya, modernitas adalah capaian sejarah universal yang bukan hak milik eropa. Siapapun dan bangsa manapun berhak memilikinya untuk berharmonisasi dengan keharusan sejarah. Namun menurutnya, modernitas tidak bakal dicapai tanpa revolusi kebudayaan. Untuk itu, al-Arawi mempertaruhkan diri untuk menyusun ulang pandangan dunia arab tentang konsep-konsep inti dalam modernitas semisal: konsep nalar (mafhum al-aql), konsep kemerdekaan (mafhum al-hurriyah), konsep ideologi (mafhum al-aidiulujiya), konsep negara (mafhum ad-daulah) dan konsep sejarah (mafhum at-tarikh). Dari sini, bisa dibayangkan betapa banyak dan besar perlengkapan filosofis yang dibutuhkan dan dimiliki al-Arawi untuk mengkonstruksi pemahaman sejarah dan konsep-konsep inti modernitas ini.
Kalau al-Arawi mengajak untuk memutus hubungan dengan tradisi (turats), Muhammad Abid al-Jabiri[5] melakukan proses ‘mengambil dan membuang’ : membuang unsur-unsur dalam tradisi yang bertentangan dengan modernitas dan mengambil bagian yang mendukungnya. Al-Jabiri merintis jalan melalui penataan ulang nalar arab-islam. Dengan bekal epistemologi yang bagus, Al-Jabiri meluncurkan proyek yang disebutnya sebagai “Kritik Nalar Arab”. Dengan proyeknya ini, al-Jabiri memutus hubungan dengan bangunan epistemologis filsafat gnostisisme yang diwakili oleh Ibnu Sina yang memiliki akar pada filsafat Plato dan menjatuhkan pilihan pada filsafat rasionalistik yang diwakili oleh Ibnu Rusyd yang berakar pada filsafat Aristoteles. Menurutnya, tradisi yang masih layak dijadikan bahan pijakan menyongsong masa depan terwakili oleh bangunan epistemologis yang menjadikan nalar sebagai acuan utamanya sebagaimana pada filsafat Ibnu Rusyd, Fiqh Ibnu Hazm dan Maqashid as-Syatibi.
Karya-karya al-Jabiri memang tidak sepenuhnya bisa dikatakan sebagai karya filsafat murni. Ia tidak sedang membanguan pemikiran yang sepenuhnya teoritis tanpa visi sejarah lokal dan tugas edukasi yang jelas tegas. Keterlibatannya secara langsung diawal karir kepemikirannya di partai sosialis Maroko dan sampai saat ini di dunia pendidikan Maroko membuatnya ‘bermimpi’ tentang dunia arab bangkit bersatu. Dengan kesadaran inilah ia menekuni tugas kepemikirannya. Ia berangkat dari dan dengan filsafat karena menurutnya filsafatlah yang memungkinkan untuk melakukan pembongkaran dan pembangunan kembali landasan pemikiran untuk bergulat dengan tuntutan-tuntutan riil masa kini dan masa depan. Dalam jagat filsafat Maroko kontemporer, al-Jabiri adalah guru para pemikir filsafat Maroko generasi kedua yang saat ini melahirkan karya-karya filsafat yang lebih dalam dan berani. Hingga saat inipun al-Jabiri masih mengeluarkan buah pemikirannya setiap bulan dalam format serial buku saku ‘mawaqif’.[6]
Satu lagi pemikir filsafat Maroko generasi pertama, Ali Omlel. Pemikir yang mulai mengajar di Universitas Muhammad V sejak awal tahun enam puluhan ini, dikenal sebagai pemikir filsafat Maroko yang paling obyektif. Pemikirannya masih dalam satu kerangka dengan pemikiran al-Arawi dan al-Jabiri: soal tradisi (turats) dan modernitas. Meskipun Omlel menulis tidak sebanyak dua rekan semasanya, al-Arawi dan al-Jabiri, namun ketajaman dan kedalaman analisisnya meninggalkan bekas yang kuat pada pemikiran filsafat Maroko. Pokok pikirannya terletak pada keharusan meletakkan pembacaan tradisi pada kerangka sejarahnya untuk kemudian melampauinya untuk menceburkan diri pada zaman baru dengan kesadaran historisitas yang tinggi. Baginya, adalah non sens menyandarkan modernitas pada produk keilmuan tradisional, karena konteks sejarahnya berbeda. Baginya, demokrasi dan modernitas politik adalah jawaban niscaya bagi Maroko dan negara-negara semisal.[7]
Masih menghadapi problematika yang sama dengan visi berbeda atau lebih pasnya: berseberangan, Taha Abdurrahman, tampil mengkritik modernitas dan membela dua disiplin keilmuan Islam yang seringkali ‘dikambinghitamkan’ sebagai biang kemunduran umat Islam (ilmu kalam dan tasawwuf) dengan dukungan senjata epistemologis yang dalam filsafat barat kontemporer semakin menunjukkan kekuatannya: linguistik dan ilmu logika (ilm al-manthiq). Pemikir filsafat yang sering disebut sebagai paling kreatif di jajaran para pemikir filsafat Maroko ini, melihat bahwa cara membangun argumentasi dalam ilmu kalam jauh lebih kuat ketimbang dalam filsafat. Sementara itu, nalar modernitas menurutnya berada di level paling rendah dari tiga tangga nalar (al-aql al-mujarrad, al-aql al-musaddad dan al-aql al-mu’ayyad) yang level tertingginya, menurutnya, hanya bisa dijangkau dengan olah batin melalui jalur sufistik. Ujungnya, Taha Abdurrahman hendak mengatakan bahwa kita bisa menjadi modern (mengadopsi produk keilmuan modern dari filsafat hingga teknologi) dengan tetap memelihara kehangatan hubungan dengan agama (Islam).[8]
Datanglah kemudian peran para pemikir filsafat generasi kedua. Disini muncul nama-nama seperti Muhammad Sabila, Abdussalam Benabdel Ali, Salim Yafut, Muhammad Waqidi, Kamal Abdullatif, Abdul Majid Shugair, Muhammad al-Misbahi, Jamaluddin al-Alawi dan lain-lain. Dua kerja keilmuan yang mereka lakukan adalah menterjemah dan menulis buku; menterjemah karya-karya para filosof eropa kontemporer semacam Heiddeger, Neitsche, Althusser, Levi’starusse, Michel Foucoult, Roland Barthes, Derrida dan lain-lain ; memproduksi pengetahuan dengan membaca secara kritis filsafat barat kontemporer atau memakai perangkat filsafat ini untuk membaca sisi-sisi tradisi keilmuan Islam. Titik maju yang bisa dicatat disini, adalah bahwa pusat perhatian mereka sudah lebih spesifik dan mendalam dalam unit-unit kajian semacam arkeologi pengetahuan, genealogi pengetahuan, relasi pengetahuan dan kekuasaan, epistemologi, teori wacana dan seterusnya.[9]
Dus, empat dekade menjadi begitu berarti, kalau diisi dengan keseriusan dan kerja keras.
* Mahasiswa S3 pada Jurusan Sejarah dan Peradaban Timur Universitas Abdel Malek Essaadi Tetouan Maroko.
[1] Muhammad Abed al-Jabiri, Nahnu wa at-Turats Qiraat Mu’ashirah fi Turatsina al-Falsafi, al-Markaz ats-Tsaqafi al-Arabi, Casablanca, cet 6, 1993, h 33.
[2] Kamal Abdullatif, As’ilah al-Fikr al-Falsafi fi al-Maghrib, al-Markaz ats-Tsaqafi al-Arabi, Casablanca, cet 1, 2003, h 36-37.
[3] Sebagai bahan rujukan, buku-buku karya al-Habbabi yang bisa disebut disini adalah : 1. Min al-Ka’in ila as-Syakhs. 2. As-Syakhshaniyah al-Islamiyah. 3. Min al-Munghaliq ila al-Munfatih. 4. Alam al-Ghad, al-Alam ats-Tsalits Yuttaham .
[4] Karya-karya Abdullah al-Arawi yang sudah diterbitkan adalah : 1. al-Aidiyulujiya al-Arabiyyah al-Muashirah (1967). 2. Tarikh al-Maghrib (1970) 3. Al-Arab wa al-Fikr at-Tarikhi (1973). 4. Ushul al-Harakah al-Wathaniyyah fi al-Maghrib (1978). 5. Mafhum al-Aidiyulujiya (1980). 6. Mafhum al-Hurriyah (1981). 7. Mafhum ad-Daulah (1981). 8. Tsaqafatuna fi Dlau’ at-Tarikh (1983). 9. Mafhum at-Tarikh (1996). 10. An-Naz’ah al-Islamiyah al-Libraliyyah wa al-Hadatsah (1996). 11. Mafhum al-Aql (1996). Al-Arawi juga bercerita tentang sisi-sisi dirinya dalam karya-karya yang lebih dekat ke karya sastra, yaitu: Al-Gurbah, al-Yatim, al-Fariq dan Gilah.
[5] Bagi kalangan intlektual Islam Indonesia, al-Jabiri adalah sosok yang tidak asing lagi. Karya-karya-nya sudah banyak didiskusikan terutama oleh mereka yang berminat dengan karya-karya yang memiliki keberanian untuk melakukan pembongkaran terhadap turats. Kajian terhadap karya-karya al-Jabiri bisa diletakkan dalam satu barisan dengan kajian terhadap karya-karya Nasr Hamid Abu Zayd atau sebelumnya, Muhammad Arkoun.
[6] Sebagai bahan rujukan lebih jauh, karya-karya al-Jabiri yang sudah terbit antara lain : 1. Madkhal li Falsafat al-Ulum (1976). 2. Nahnu wa at-Turats (1980). 3. Al-Khitab al-Arabi al-Mu’ashir (1982). 4. Isykaliyat al-Fikr al-Arabi al-Mu’ashir (1989). 5. Qadlaya fi al-Fikr al-Arabi al-Mu’ashir (1997). 6. Al-Mas’alah ast-Tsaqafiyah (1994). 7. Ad-Dimuqhrathiyah wa Huquq al-Insan (1994). 8. Mas’alat al-Huwiyyah (1995). 9. ad-Din wa ad-Daulah (1996). 10. Ruba’iyyat Naqd al-Aql al-Arabi (Takwin al-Aql al-Arabi, Bunyah al-Aql al-Arabi, al-Aql as-Siyasi al-Arabi dan al-Aql al-Akhlaqi al-Arabi). Sementara, serial bulanan ‘Mawaqif’, sampai saat ini, sudah terbit lebih dari tiga puluh edisi.
[7] Karya maskot Ali Omlel adalah « As-Sulthah as-Siyasiyah wa As-Sulthah as-Tsaqafiyah » (1996). Sementara buku-bukunya yang diterbitkan antara lain: 1. Al-Khitab at-Tarikhi, Dirasah li Manhajiyat Ibn Khaldun (Berbahasa Perancis, 1977). 2. Al-Ishlahiyah al-Arabiyah wa ad-Daulah al-Wathaniyyah (1985). 3. At-Turats wa at-Tajawuz (1990). 4. Fi Syar’iyyat al-Ikhtilaf (1991). 5. Mawaqif al-Fikr al-Arabi min al-Mutaghayyirat ad-Dauliyah, ad-Dimuqhrathiyyah wa al-Aulamah (1998).
[8] Buku-buku karya Taha Abdurahman yang bisa dicatat disini adalah : 1. Al-Lughah wa al-Falsafah (Dalam bahasa Perancis, 1979). 2. Al-Manthiq wa an-Nahwu as-Shuri (1979). 3. Fi Ushul al-Hiwar wa Tajdid Ilm al-Kalam (1987). 4. Al-Amal ad-Dini wa Tajdid al-Aql (1989). 5. Tajdid al-Manhaj fi Taqwim at-Turats (1994). 6. Fiqh al-Falsafah (1995). 7. Al-Lisan wa al-Mizan (1998). 9. Al-Qaul al-Falsafi (1999). 10. Su’al al-Akhlaq, Musahamah fi an-Naqd al-Akhlaqi li al-Hadatsah al-Gharbiyah (2001).
[9] Untuk pembacaan lebih lanjut, bisa dirujuk : Kamal Abdullatif, op.cit, h 151-177.
Subscribe to:
Posts (Atom)